Minggu, 20 Maret 2011

Mendorong Prinsip Keamanan Bermukim (Security of Tenure)


Ketika istilah keamanan bermukim diangkat pada sebuah diskusi terarah di Cikampek, timbul pemahaman yang beragam dari beberapa pihak. Diskusi terbatas mengenai penanganan permukiman kumuh tersebut diadakan oleh Bappenas pada akhir tahun 2006 dan pertengahan 2007 serta dihadiri oleh para pihak terkait perumahan dan permukiman seperti Kemenpera, PU Cipta Karya, BPS, BPN, Depdagri, dll. Secara sederhana, istilah keamanan bermukim (secure tenure) dimaknai sebagai mengijinkan penghuni permukiman kumuh dan informal (liar) seperti di bantaran sungai, bantaran rel kereta api, dsb untuk tetap tinggal di kawasan terlarang tersebut. Ada pula yang mengartikannya memberikan hak milik rumah dan tanah bagi para penghuni permukiman informal (liar).
Jika dihadapkan dengan penggusuran (yang diklaim pemerintah sebagai penertiban), maka istilah keamanan bermukim diartikan menolak penertiban atau membiarkan kondisi permukiman informal tidak tertib. Pemaknaan sederhana yang kurang tepat seperti ini menimbulkan resistensi untuk menerima prinsip keamanan bermukim secara luas, terutama di kalangan pemerintah. Makna menurut penulis sendiri dan sedikit peserta lain bukanlah seperti itu. Keamanan bermukim memiliki makna yang luas, yang pada intinya memberikan iklim yang memudahkan bagi semua warga untuk memperoleh rumah yang layak dan terjangkau, dan yang terutama, iklim yang melindungi dan memberdayakan bagi proses perumahan yang belum memenuhi kelayakan, yang masih merupakan proses perumahan yang cukup dominan terutama di kota-kota besar di tanah air.
Yang jelas, keragaman persepsi ini hendaknya perlu disamakan sebelum berkembang menjadi jargon dan slogan kosong (buzzword) dan salah kaprah (misleading) seperti biasanya terjadi di tanah air dan seringkali justru mematikan pemaknaan sebenarnya. Untuk itu, melalui kesempatan pemaparan dalam diskusi penanganan permukiman squatter/ informal (liar) yang diadakan di Kemenpera pada akhir April 2009, kiranya penulis merasa perlu sedikit urun pendapat melalui tulisan singkat ini. Meski tentu masih belum memadai untuk suatu eksplorasi konseptual yang mendalam yang diiringi pula pemahaman kondisi permukiman dan konteks lokal di tanah air.
1.   Pengertian
Merujuk kamus bahasa Inggris, istilah tenure atau tenureship memiliki arti yang sama dengan occupancy, habitation dan use. Dengan demikian istilah tenure dapat diartikan sebagai, penghunian, pemukiman (bermukim) dan penggunaan. Dalam konteks tempat tinggal dan lingkungannya, maka penulis lebih memilih makna tenure sebagai bermukim atau habitasi. Di dalam praktek permukiman di tanah air, bermukim tidak berarti tunggal sebagai memiliki (dibuktikan surat hak), namun kita mengenal beragam bentuk bermukim seperti milik, kontrak, sewa, pinjam, maupun menumpang, dsb.
Sedangkan istilah security berarti keamanan, namun tidak persis sama dengan defense yang berarti keamanan dari serangan musuh atau dari kejahatan kriminal. Security bermakna sama pula dengan protection yang berarti perlindungan atau jaminan. Dengan demikian istilah secure tenure dapat kita artikan sebagai keamanan (jaminan, kepastian) bermukim. Penuilis lebih memilih makna keamanan karena mengandung pengertian perlindungan (terhadap proses perumahan informal dari pemalakan, intimidasi dan penggusuran).
Dalam kaitan dengan perumahan dan permukiman, maka istilah keamanan bermukim dapat diartikan sebagai:       
1)      Adanya jaminan akan akses yang luas bagi setiap keluarga untuk bisa memperoleh tempat tinggal yang layak secara terjangkau melalui sistem penyediaan tempat tinggal (perumahan dan permukiman) yang berkeadilan,
2)      Adanya jaminan bagi setiap keluarga atau perorangan untuk mendapatkan proses pemberdayaan dan akses ke sumber-sumber daya kunci perumahan dan permukiman dalam upaya memperoleh tempat tinggal yang layak dan terjangkau, dan
3)      Adanya keamanan (perlindungan) bagi setiap keluarga atau perorangan untuk secara sementara mempertahankan tempat tinggal yang dimilikinya meskipun belum memenuhi standar layak, sementara proses penyediaan di poin pertama dan kedua berlangsung.

2.   Latar Belakang
Mengapa prinsip keamanan bermukim dirasakan penting untuk dimajukan? Jawaban singkatnya adalah karena masih belum meluasnya rasa kepastian bagi semua warga negara untuk bermukim secara layak dan aman. Dalam istilah kebijakan pembangunan, belum ada akses yang memadai bagi seluruh warga masyarakat untuk bertempat tinggal dan melangsungkan kehidupan yang bermartabat. Masih ada kesenjangan yang jauh antara kebijakan dan peraturan di bidang perumahan dan permukiman, termasuk pertanahan (menjamin terpenuhinya kebutuhan tanah untuk bermukim), dengan implementasinya.
Kalangan masyarakat berpendapatan rendah (MBR) dan kaum miskin kota yang tidak mampu memperoleh permukiman yang layak, dengan mudah terperosok ke lingkungan permukiman informal (liar) yang tidak aman dari penggusuran dan rentan pula dari bahaya bencana. Permukiman ini disebut sebagai permukiman informal yang tidak aman sekaligus merupakan cerminan kemiskinan kota. Sejalan dengan itu permukiman kumuh dan informal (liar) terus bertambah, seiring pula dengan penggusuran permukiman yang berkelanjutan. Dari sebuah data lembaga PBB, sekitar 873 juta jiwa penduduk dunia tinggal di lingkungan permukiman kumuh pada tahun 2000 dan akan bertambah sebanyak dua kali lipatnya diperkirakan sekitar 1,5 milyar pada tahun 2020. Berapa target yang realistis untuk dapat mengerem laju pertambahan penduduk permukiman kumuh tersebut? Sementara itu, Indonesia sendiri masih berkutat dengan pendataan permukiman kumuh yang ada dan bagaimana laju pertumbuhannya. Data sensus tahun 2000 sementara menyebutkan ada 47 ribu hektar permukiman kumuh yang tersebar di 10 ribu lokasi. Pertanyaannya, apa upaya yang harus dilakukan untuk merealisasikan target pengurangan permukiman kumuh/liar dan untuk mengurangi laju pertumbuhannya?
Permukiman kumuh dan informal (liar) yang terus bertambah inilah yang ditengarai sebagai cermin masih rendahnya dan belum ditegakkannya prinsip keamanan bermukim di tanah air. Permukiman kumuh dan liar adalah gambaran pola pembangunan yang masih abai terhadap pemenuhan kebutuhan kaum miskin yang menempati proporsi cukup besar. Pada awalnya, prinsip keamanan bermukim merupakan suatu ancangan internasional yang ditawarkan dalam merespon laju pertumbuhan permukiman kumuh dan informal di berbagai kota besar di negara-negara berkembang. Namun, meskipun telah secara luas dikaji di tingkat global (UN agencies) hingga disimpulkan merupakan isu strategis melalui mana banyak permasalahan dapat diselesaikan, konsep keamanan bermukim masih relatif baru di Indonesia. Meskipun demikian, dalam berbagai dokumen seperti agenda dan kerangka aksi global (agenda habitat, tujuan pembangunan millennium, dll) Indonesia telah turut meratifikasi prinsip keamanan bermukim ini. Masalahnya tinggal dalam sosialisasi dan upaya realisasinya yang belum kunjung tampak.
Dalam beberapa praktek penanganan permukiman di tanah air sebenarnya sudah ada contoh-contoh penerapan keamanan bermukim. Contohnya adalah ketika pada tahun 2004 dikeluarkan SK Menteri PU yang memberi ijin tinggal sementara selama 2 tahun kepada warga pemukim kolong tol di Jakarta Utara. Namun sayangnya ijin tinggal sementara itu tidak diikuti dengan upaya penanganan yang memadai dari Kementerian Perumahan Rakyat dan PU Cipta Karya. Justru atas permintaan Gubernur DKI Jakarta tahun 2007, Menteri PU yang menjabat pada periode berikutnya mencabut SK ijin tinggal sementara itu, meskipun masalah permukiman informal (liar) yang melatarbelakangi terbitnya SK tersebut belum ditangani.
Pada kasus-kasus lain, kebijakan atau penerbitan SK beberapa Walikota (Solo, Pekalongan, Blitar, dll) yang memberi ijin tinggal sementara juga telah memberi rasa aman bermukim, meskipun sementara. Tindakan beberapa pemimpin yang memiliki hati nurani tersebut telah berupaya mengerahkan kewenangan yang dimilikinya untuk memberi keamanan bermukim. Namun semuanya masih belum bisa meningkatkan keamanan bermukim warga secara terencana dengan baik, karena belum didukung kebijakan yang jelas dan terbangun dalam suatu kerangka peraturan, kelembagaan dan mekanisme-mekanisme penanganan yang efektif.

3.   Pernyataan Posisi (Position Statement)
Secara hukum positif, pada dasarnya upaya meningkatkan keamanan bermukim adalah strategi nyata dalam merealisasikan Hak Asasi Manusia (HAM), sebagai pemenuhan hak-hak dasar warga negara atas rumah yang layak di lingkungan permukiman yang sehat, yang telah ditetapkan Konstitusi NKRI dan beberapa pasal Undang-undang. Undang-undang Dasar 1945 pasal 28-H mengamanatkan bahwa setiap orang berhak untuk bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sedangkan di dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 40 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bertempat tinggal dan berkehidupan yang layak. Undang-undang No. 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman pasal 5 menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan/atau menikmati dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur
Selain itu, upaya mewujudkan keamanan bermukim adalah strategi dalam upaya merealisasikan prinsip pro-poor dalam upaya menanggulangi kemiskinan khususnya di perkotaan. Secara teknis pengelolaan permukiman perkotaan, Keamanan Bermukim adalah strategi untuk menghambat laju pembentukan dan pengurangan permukiman kumuh dan informal (squatter) secara berarti, efektif dan manusiawi.
Prinsip keamanan bermukim pada dasarnya adalah realisasi dari pendekatan pemenuhan hak-hak dasar seperti diuraikan di atas. Dalam hal ini adalah hak penggunaan tanah dan hak perumahan, yaitu pengakuan adanya hak setiap keluarga atau perorangan untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak di lingkungan permukiman yang sehat. Secara umum, ada dua aspek penting dari keamanan bermukim, yaitu pertama, adanya keamanan pemanfaatan tanah (secure land tenure) untuk bertempat tinggal dan pengakuan adanya hak perumahan (housing right) yang layak bagi semua warga masyarakat (shelter for all).
Isu tanah untuk perumahan dan permukiman (bukan semata administrasi tanah) merupakan salah isu penting di dalam realisasi prinsip keamanan bermukim ini. Namun perlu dicermati bahwa isu tanah untuk perumahan (land for housing atau housing land) bukanlah isu yang ada di domain (administrasi) pertanahan, melainkan ada di bidang perumahan dan permukiman. Oleh karena itu, prinsip keamanan bermukim harus diusung oleh instansi, para pihak dan komunitas di bidang perumahan dan permukiman. Prinsip keamanan bermukim tidak tepat jika diserahkan kepada instansi atau pihak yang terkait dengan administrasi pertanahan sebagai leading actor, meskipun, sekali lagi meskipun, administrasi pertanahan merupakan salah satu aspek pentingnya. Mengapa? Karena tujuan penerapan keamanan bermukim bukan semata tertib administrasi tanah, yang umumnya diselesaikan dengan upaya sertifikasi dan ajudikasi tanah yang memerlukan biaya tinggi melalui berbagai program dan proyek administrasi tanah. Tujuan penerapan keamanan bermukim adalah terwujudnya keamanan/jaminan/kepastian untuk bermukim secara layak bagi setiap warga negara.
Berbagai proyek percontohan peremajaan dan penataan permukiman kota (urban renewal, urban redevelopment, urban regeneration, dsb) selalu terbentur pada masalah keragaman status bermukim (irregular land tenure). Karena akar permasalahannya belum ditangani dengan baik maka berbagai kasus peremajaan permukimn kota tersebut bersifat sepenggal (piecemeal) dalam mengatasi masalah ini. Faktor restu pimpinan daerah selalu menjadi faktor kunci dibelakang penanganan yang dipandang sukses. Tentunya faktor ini tidak melembaga untuk dilanjutkan pada masa yang akan datang. Pendekatan restu pimpinan tidak dapat direplikasi (unreplicable) dan tidak dapat ditingkatkan skalanya (unupscalable) di tempat lain.

4.   Tantangan adanya Kondisi Keragaman Status Bermukim
Apa tantangan pertama yang dihadapi dalam penerapan prinsip keamanan bermukim? Substansi kongres hasil diskusi pra-Kongres Perumahan 2009 mencantumkan prinsip ini, dengan istilah kepastian bermukim. Namun memang cukup aneh juga rumusan kebijakan dan rencana aksi sebagai implementasinya, yang mencantumkan hal-hal yang kurang berhubungan dengan permasalahan keamanan bermukim, seperti: penerapan RP4D (rencana perumahan di daerah), adanya lembaga perumahan dan alokasi anggaran APBD untuk perumahan.
Tantangan pertama yang ditemui di lapangan ialah adanya keragaman status bermukim yang tidak dapat diakomodasi semuanya oleh sistem kategori status (legal) tanah berdasarkan kebijakan dan peraturan yang ada. Keadaan seperti ini menyebabkan semua bentuk status bermukim selain sertifikat tanah dan ijin bangunan memiliki kerentanan atau ketidak-amanan. Sehingga kemudian menjadi pertanyaan, yang manakah yang seharusnya menjadi kendala, adanya fakta keragaman status bermukim tersebut atau sistem kebijakan dan peraturannya?
Upaya meningkatkan keamanan bermukim berhadapan dengan kondisi status bermukim warga masyarakat yang sangat beragam. Kerangka kategori yang ada masih sangat terbatas, yaitu legal, kurang legal dan ilegal, karena melihat status bermukim semata dari sudut legal (hukum) formalistis yang ditandai oleh selembar sertifikat atau surat tanah. Mengapa dikatakan legal formalistis? Karena pada prakteknya, disamping sulit dikembangkan secara masal dan terpadu dengan aspek penataan ruang, proses sertifikasi seringkali terlepas dari riwayat penggunaan tanah, sistem sosial dan perkembangan budaya bermukim warga masyarakat yang semestinya juga menjadi dasar menyusun status legal. Sebagai konsekwensinya, fakta yang ada di lapangan menunjukkan selain adanya kategori status legal, ada pula status ekstra-legal, status non-formal, dan sebagainya. Ada kategori (formal) dan ada pula sub-kategori (informal) yang tidak bisa diabaikan begitu saja oleh lembaga administrasi pertanahan.

Keragaman status bermukim eksisting yang luas    vs    Regulasi, kebijakan dan program eksisting
à Yang mana kendala dan yang mana tantangan regularisasi permukiman kumuh/squatter? Apakah keragaman status bermukim yang menjadi kendala, ataukah regulasi dan kebijakan yang belum responsif terhadap prinsip keamanan bermukimlah yang menjadi kendala?

Keragaman status bermukim warga adalah fakta di lapangan yang tidak dapat sepenuhnya diakomodasi oleh kategori status bermukim eksisting yang formalistik. Oleh sebab itu, perlindungan terhadap hak dasar perumahan dan permukiman harus memberi perlindungan terhadap keragaman status bermukim dengan mengenali keadaannya sebagai basis pengembangan upaya peningkatan status bermukim dan kesejahteraannya.
Selain itu, fakta di lapangan menunjukkan pula bahwa status legal formal tidak selalu menjadi prioritas dari kaum miskin kota. Prioritas utama adalah tempat yang aman untuk beperikehidupan. Artinya, kerangka status bermukim warga permukiman informal lebih mengacu pada sisi perikehidupan (livelihood, kondisi sosial ekonomi) ketimbang aspek legalnya. Untuk itu diperlukan susunan baru kategori status bermukim yang dilandasi oleh visi untuk meningkatkan dan meregularisasi keamanan bermukim bagi seluruh warga.

PARADIGMA LAMA à Kategori Status Bermukim  vs  Status Legal Bermukim
                                 à Melemahkan keamanan bermukim permukiman yang tidak memiliki status legal
PARADIGMA BARU à Kategori Status Bermukim  vs  Status Aman Bermukim dan Peningkatan Kesejahteraan
                                 à Meningkatkan keamanan bermukim 

Kategori status bermukim dalam pasar tanah dan properti yang liberal hanya menghasilkan ketidakamanan bermukim. Karena pasar tanah dan properti yang liberal hanya menguntungkan bagi sekelompok kecil kalangan yang mampu mengakses (status) tanah yang dipandang legal. Untuk itu, upaya meningkatkan keamanan bermukim berimplikasi pada diperlukannya pengembangan peran publik (peran negara dan pemerintah) dalam meregulasi pasar tanah dan properti.
Sebagai contoh, permukiman di bantaran rel kereta dan bantaran sungai tidak dapat diberi status permukiman liar atau ilegal, karena warga yang tinggal di situ memiliki hak untuk dilindungi dan diberi keamanan bermukim. Dalam kerangka kategori baru, sebagai contoh, bisa diberikan status tidak resmi (informal) dan kepadanya diberikan hak tinggal sementara. Contoh penerbitan SK tinggal sementara yang dikeluarkan kepala daerah atau otoritas pemilik sah tanah (lembaga negara, BUMN dan sebagainya) adalah contoh pemberian keamanan bermukim. Namun pemberian status hak tinggal sementara tidak berdiri sendiri, melainkan harus diiringi oleh pemenuhan hak pemberdayaan dan upaya perolehan tempat tinggal secara swadaya dan kerjasama dengan berbagai pihak. Program pemberdayaan dan penyediaan tempat tinggal ini merupakan tanggung jawab pemerintah c.q Menteri Perumahan Rakyat dan PU Cipta Karya atau Dinas Perumahan dan Dinas PU Cipta Karya di daerah. Pada saat yang sama, pemenuhan hak bermukim berupa pemberian akses sumberdaya perumahan (tanah siap bangun dan pembiayaan murah) dan akses memperoleh rumah layak dan terjangkau (prasarana dan rumah murah) tetap perlu dilakukan dengan giat.
Membangun Komitmen
Memperhatikan kondisi di lapangan yang demikian kompleks, pada dasarnya diperlukan komitmen yang kuat untuk menerapkan prinsip keamanan bermukim dalam rangka menangani permukiman informal yang seiring pula dengan penanggulangan kemiskinan. Untuk itu diperlukan kerja keras dan upaya yang efektif untuk mengurangi laju pembentukan permukiman kumuh.

5.   Strategi
Merealisasikan prinsip keamanan bermukim adalah strategi kunci dalam penyediaan perumahan dan permukiman yang layak untuk seluruh rakyat. Untuk merealisasikan prinsip keamanan bermukim, diperlukan langkah-langkah strategis seperti:
1.    Peningkatan kapasitas pemahaman dari berbagai kalangan terkait, untuk merespon adanya keragaman persepsi terhadap konsep keamanan bermukim dan terhadap tujuan penerapannya. Untuk itu diperlukan penyamaan persepsi mengenai pentingnya pengembangan Kebijakan untuk Peningkatan Akses Keamanan Bermukim melalui proses perumusan kebijakan, strategi, program dan rencana aksi yang semakin mantap secara partisipatif.



2.   Pemetaan kondisi dari status bermukim yang beragam sebagai basis data untuk perumusan kebijakan dalam upaya peningkatan keamanan bermukim. Sebagai contoh, perkiraan 90% tanah di provinsi Riau memiliki status bermukim yang beragam namun semuanya berada di atas status tanah adat/ulayat. Contoh lain, perkiraan sebagian besar tanah dan rumah permukiman kumuh dan informal di Jakarta Utara memiliki status tanah dan rumah yang sangat beragam, namun semuanya berada di atas status HPL satu atau lebih lembaga negara. Kedua kasus ini adalah contoh dari keragaman status bermukim yang kondisinya sangat berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya. Kondisi yang berbeda-beda ini perlu dikenali dengan baik sebagai landasan upaya meningkatkan keamanan bermukim. Caranya? Keragaman status bermukim harus dijadikan dasar penyusunan kerangka status bermukim yang baru (bukan hanya status legal tanah).



 

3.     Pemberdayaan permukiman informal (liar). Pembangunan perumahan secara informal lambat laun membentuk permukiman yang kumuh, tidak terencana dan dilengkapi prasarana dan sarana yang memadai. Permukiman kumuh dan informal bahkan bisa saja mendominasi proses perumahan kota. Untuk itu diperlukan upaya memahami permukiman informal ketimbang melakukan penggusuran yang tidak menyelesaikan masalah. Pertambahan kumuh dan informal tetap melaju, apalagi juga tidak menyelesaikan masalah warga yang digusur tersebut. Pemahaman terhadap permukiman informal memiliki potensi dalam penanggulangan kemiskinan kota karena sifatnya yang dikembangkan secara swadaya, partisipatif, dan sedikit investasi publik, memberi kontribusi persediaan rumah (housing stock) dan terjangkau oleh masyarakat miskin. Pemahaman dan pemberdayaan permukiman informal adalah langkah untuk meningkatkan akses keamanan bermukim. Sejalan dengan perlindungan hak perumahan warga, maka upaya pemberdayaan permukiman informal merupakan penanganan mendesak yang paling realistis dan rasional.
4.     Mengembangkan secara kreatif kategori-kategori dan ragam status bermukim yang lebih cenderung pada peningkatan keamanan bermukim. Ini adalah strategi penanganan yang bersifat kuratif dan dalam jangka menengah bersifat transisional dengan tujuan untuk mengisi kesenjangan antara kerangka legal dan praktek yang ada. Contoh-contohnya adalah menetapkan kategori semi formal dan sub-kategori (informal) seperti SK Walikota tentang Ijin Tinggal, Surat Edaran Mendagri tentang Tenggat Tinggal, Hak Guna Tanah, Hak sewa tanah temporer, Hak guna tanah berbasis kelompok, Hak guna tanah berbasis data miskin, dan sebagainya.
5.     Pengkajian kendala regulasi, kebijakan dan program dalam upaya formalisasi permukiman kumuh dan squatter sebagai strategi penanganan jangka panjang yang bersifat preventif dan bertujuan untuk melakukan reformasi terhadap kerangka regulasi yang ada, agar secara bertahap dapat berubah semakin baik dan lebih responsif terhadap keragaman status bermukim.

 
6.  Rencana Aksi
Sebagai langkah-langkah tindak lanjut, perlu disusun rancangan rencana aksi:
1.     Rangkaian kegiatan FGD dan kampanye publik untuk penyamaan pemahaman prinsip keamanan bermukim dan pembangunan kepedulian publik (public awareness building) yang luas, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah dan pelaku-pelaku lainnya.
2.     Studi dan pemetaan kondisi ragam status bermukim dengan keluaran basis data dan kerangka kategori status bermukim. Dalam rangka meningkatkan keamanan bermukim, maka kegiatan ini meliputi pula studi kondisi kehidupan kaum miskin kota dalam kaitan dengan status bermukim. Fokus studi diarahkan pada ragam pekerjaan, ragam pola penggunaan tanah dan bangunan, mobilitas bermukim dan status bermukim, persepsi keamanan bermukim dan prioritas pilihan status bermukim.
3.     Percontohan penanganan permukiman informal (liar) melalui berbagai bentuk program percontohan pemukiman kembali (resettlement). Proyek percontohan dapat dilakukan di berbagai lokasi permukiman liar seperti di bantaran sungai, bantaran rel kereta api, di tanah negara maupun di tanah lembaga tertentu. Berbagai pola dan skenario dapat saja digunakan seperti skenario tetap di tempat (in situ resettlements) maupun relokasi (ex situ resettlements) maupun kombinasinya. Sejalan pula, berbagai ragam bentuk status bermukim yang lebih mendukung keamanan bermukim (strategi nomor 4) dikembangkan secara kreatif di dalam skema percontohan ini.
4.     Peningkatan kapasitas dan pengembangan kelembagaan penanganan permukiman kumuh dan informal (liar) secara progresif terutama di tingkat kota (city-wide level) melalui unit-unit pemerintah daerah yang terkait. Pemberdayaan permukiman kumuh dan informal di tingkat kota perlu dilakukan secara terpadu dengan mengkaitkannya dengan peningkatan 3 kapasitas kunci:
1. Peremajaan kawasan (redevelopment) termasuk pengendalian squatter (squatter control),
2. Pemukiman kembali (resettlement) yang mirip dengan pola transmigrasi, dan
3. Pengembangan kawasan permukiman/kota baru (kasiba-lisiba) yang dilekatkan dengan pengembangan kawasan-kawasan pusat pertumbuhan baru.

Ketiga pola penanganan ini membentuk segitiga squatter control/urban renewalresettlement – new area development yang perlu dilakukan secara terpadu, sebagai alternatif yang harus dikembangkan menggantikan pola lama yang terfragmentasi (peacemeal, printilan) melalui proyek-proyek dan proyek-proyek dan proyek-proyek peremajaan kawasan kumuh yang sudah terbukti tidak mampu mengentaskan masalah kumuh dan permukiman squatter perkotaan. Lebih memprihatinkan lagi, semua program penanganan permukiman kumuh tersebut tidak mampu menunjukkan roadmap menuju kota-kota yang bebas kumuh sebagaimana diamanatkan RPJP 2025.




5.     Studi pengkajian regulasi, kebijakan dan program dalam upaya formalisasi permukiman kumuh dan squatter, termasuk pula studi banding regulasi status bermukim dalam rangka peningkatan keamanan bermukim dan penanganan permukiman kumuh dan permukiman informal.

Tabel Ringkasan Rumusan Isu, Kebijakan dan Rencana Aksi
Isu/Masalah
Kebijakan dan Strategi
Draft Rencana Aksi
1.   Isu Keamanan Bermukim (Secure Tenure)
·    Akar masalah MBR dan miskin kota yang tidak mampu mengakses permukiman yang layak
·    Akar masalah dari permukiman kumuh dan informal (liar) yang terus bertambah.
1. Peningkatan kapasitas ttg konsep keamanan bermukim dan penerapannya
2. Meningkatan keamanan bermukim
3. Pemetaan kondisi dari ragam status bermukim
4. Pemberdayaan permukiman informal (liar).
5. Mengembangkan kategori status bermukim
6. Evaluasi regulasi dan kebijakan dalam upaya regularisasi perm. kumuh dan informal (liar)
1. Rangkaian FGD untuk penyamaan pemahaman prinsip keamanan bermukim dan public awareness building yang luas,
2. Studi dan pemetaan kondisi ragam status bermukim dengan keluaran basis data dan kerangka kategori status bermukim,
3. Percontohan penanganan permukiman informal (liar) melalui berbagai bentuk program percontohan pemukiman kembali (resettlement)
4. Peningkatan kapasitas penanganan permukiman informal yang progresif dan terpadu terutama di tingkat kota
5. Studi pengkajian regulasi, kebijakan dan program dalam upaya formalisasi permukiman kumuh dan squatter, termasuk pula studi banding regulasi status bermukim


(Paper disampaikan pada FGD Penanganan Permukiman Squatter, Kementrian Perumahan Rakyat, 28-29 April 2009, ditulis kembali dan dilengkapi seperti versi ini. Penulis adalah Anggota Tim Pakar Panitia Kongres Perumahan 2009, Dosen dan Peneliti di KKPP SAPPK ITB, Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung)

***

















1 Komentar:

Pada 29 September 2018 pukul 12.12 , Blogger AMISHA mengatakan...




Saya selalu berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan peminjam yang meminjamkan uang tanpa membayar terlebih dahulu.

Jika Anda mencari pinjaman, perusahaan ini adalah semua yang Anda butuhkan. setiap perusahaan yang meminta Anda untuk biaya pendaftaran lari dari mereka.

saya menggunakan waktu ini untuk memperingatkan semua rekan saya INDONESIANS. yang telah terjadi di sekitar mencari pinjaman, Anda hanya harus berhati-hati. satu-satunya tempat dan perusahaan yang dapat menawarkan pinjaman Anda adalah SUZAN INVESTMENT COMPANY. Saya mendapat pinjaman saya dari mereka. Mereka adalah satu-satunya pemberi pinjaman yang sah di internet. Lainnya semua pembohong, saya menghabiskan hampir Rp35 juta di tangan pemberi pinjaman palsu.

Pembayaran yang fleksibel,
Suku bunga rendah,
Layanan berkualitas,
Komisi Tinggi jika Anda memperkenalkan pelanggan

Hubungi perusahaan: (Suzaninvestment@gmail.com)

Email pribadi saya: (Ammisha1213@gmail.com)

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda