Selasa, 09 Oktober 2012

Target Menuju Kota-kota Bebas Kumuh di Indonesia pada 2020: Peta Jalan yang Realistis dan Penuh Komitmen


Dalam rangka peringatan World Habitat Day tahun ini, Kementerian Perumahan Rakyat mengadakan rangkaian kegiatan seminar dengan tema Penanganan Perumahan dan Permukiman Kumuh Menuju Kota-kota Bebas Kumuh di Indonesia pada 2020. Rangkaian seminar ini juga didukung beberapa instansi pemerintah terkait seperti Bappenas dan Kementerian PU Cipta Karya. Tujuannya adalah untuk merumuskan Peta Jalan atau Road Map dari penyiapan rencana aksi penanganan perumahan dan permukiman kumuh. Diharapkan peta jalan ini dapat mendorong terwujudnya program-program penanganan perumahan dan permukiman kumuh yang terpadu dan sinergis antara seluruh aktor yang terlibat, baik di tingkat nasional maupun daerah. Selain itu, agar program-program perumahan dan permukiman dapat dijalankan secara efektif di lapangan.

Berdasarkan hasil diskusi, ada beberapa butir persoalan yang perlu mendapat perhatian untuk dikaji lebih jauh menyangkut apa yang bisa kita sebut sebagai Diagnosis Kumuh, yaitu menyangkut persoalan: indikator, kebijakan dan strategi, kemiskinan, urbanisasi dan target kota bebas kumuh. Pada kesempatan ini, kelima butir persoalan ini coba dikaji lebih jauh secara kritis.

1.      Indikator Kumuh

Masalah indikator kumuh menjadi topik pembahasan yang selalu muncul, terutama dari kalangan instansi pemerintah. Memang disadari bahwa pada dasarnya ukuran atau indikator kekumuhan selalu berulang-ulang dibahas dan bukan merupakan hal yang baru untuk didefinisikan kembali. Namun masih dipandang perlu dilakukan penyepakatan sehingga ada satu indikator yang sama untuk menentukan kawasan kumuh. Penyepakatan tersebut dipandang merupakan langkah awal terhadap penyediaan data kumuh, yang selanjutnya mendukung perumusan kebijakan penanganan kumuh. Pemikiran seperti ini bisa dipahami terutama setelah ada perbedaan pendapat terkait pengukuran kinerja penanganan kumuh antara BPS dan instansi pelaksana dari jajaran Kemenpera dan Kemen-PU Cipta Karya.

Sedangkan dari kalangan akademisi mengatakan bahwa indikator kumuh sudah sangat jelas. Indikator kumuh pada dasarnya mudah dikenali. Secara sederhana, perumahan dan permukiman kumuh di perkotaan dapat dikenali melalui lingkungan permukiman padat dan semrawut, rumah-rumah yang tidak layak huni dan terbuat dari material yang mudah terbakar, kurangnya pelayanan air bersih dan sanitasi,  serta rendahnya tingkat keamanan bermukim. Permukiman kumuh juga dapat dikenali sebagai tempat dari berbagai penyakit sosial, tingkat kesehatan yang rendah, angka kriminal yang tinggi, dan berbagai indikasi menurunnya tingkat kualitas hidup masyarakat. Indikator yang dipakai secara umum adalah luas kawasan, jumlah lokasi, dan jumnlah penduduk di permukiman kumuh.

Menurut kalangan akademisi, persoalannya adalah, bahwa mudahnya mengenali indikasi kumuh ternyata tidak berarti mudah pula upaya penanganannya melalui kebijakan dan strategi yang tepat. Jadi, pokok persoalannya adalah pilihan kebijakan dan strategi penanganan, bukan ada tidaknya indikator yang disepakati.

2.      Kebijakan dan Strategi Penanganan Kumuh

Terkait dengan penetapan indikator seperti di atas, menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, apakah penyepakatan indikator kumuh menjadi prakondisi pembuatan kebijakan dan strategi? Ataukah cukup menetapkan indikator kumuh secara umum, untuk kemudian melakukan diagnosis kumuh secara tepat, lalu menetapkan pilihan pendekatan, kebijakan dan strategi yang efektif?

Di sini penulis lebih memilih pandangan yang kedua. Artinya, jika tidak ada kebijakan dan strategi yang efektif untuk dapat mengerem laju pertambahan kawasan dan penduduk permukiman kumuh tersebut, maka kumuh akan mengalami eskalasi yang semakin sulit diatasi. Sedangkan indikator merupakan instrumen pengukuran yang diperlukan di semua tingkatan. Ada indikator kebijakan, perencanaan, hingga ada indikator program.

Pemahaman awal yang dibutuhkan adalah bahwa permukiman kumuh di perkotaan sudah menjadi fenomena global, khususnya di negara-negara berkembang dan memberikan tantangan penanganan yang cukup kompleks. Menurut data PBB (2003), satu dari enam penduduk adalah penduduk yang tinggal di kawasan kumuh. UN-Habitat menggarisbawahi, bahwa jika tidak ada kebijakan dan strategi yang efektif, maka penyebaran populasi kaum urban potensial kumuh diperkirakan akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2030.

Namun, pada pelaksanaannya, berbagai kebijakan, strategi dan program sudah coba dilakukan di berbagai kota, namun kumuh tetap menjadi tantangan yang semakin meningkat. Ini berarti negara dan pemerintah belum memiliki kebijakan yang terpadu dan strategi yang efektif untuk dapat mengerem laju pertambahan kumuh tersebut, sehingga perlu dijadikan agenda penting di dalam perumusannya.

3.      Kumuh dan Kemiskinan

Secara umum masih dipahami bahwa timbulnya Perumahan dan Permukiman Kumuh disebabkan oleh dua hal utama, yaitu kemiskinan dan tidak meratanya pembangunan yang berdampak pada meningkatnya urbanisasi  ke area perkotaan di Indonesia. Kemiskinan dilihat sebagai penyebab timbulnya masalah kumuh. Pertanyaannya, apakah memang demikian pandangan yang bisa diterima?

Coba kita renungkan sejenak, dan melihat bahwa masalah kemiskinan adalah masalah yang melekat pada kekumuhan tersebut, atau sebaliknya, kekumuhan melekat pada kemiskinan. Kemiskinan dan kekumuhan adalah dua sisi mata uang yang sama, bukan yang satu menyebabkan yang lain. Permukiman kumuh adalah titik persimpangan dari semua masalah pembangunan yang bermuara pada rendahnya tingkat kesejahteraan penduduk.

Oleh karena itu, penanganan kumuh adalah bagian dari pengentasan kemiskinan melalui kebijakan yang terpadu dan strategi yang efektif di bidang perumahan, permukiman dan pembangunan kota. Melalui pendekatan berbasis hak-dasar (right-based approach), dasadari bahwa kemiskinan diakibatkan belum terpenuhinya hak-hak dasar manusia. Kekumuhan sebagai bagian tak terpisahkan dari kemiskinan juga diakibatkan belum terpenuhinya hak-hak dasar perumahan.

Ada juga yang mengatakan bahwa mereka yang tinggal di kawasan kumuh tidak selalu miskin, dalam arti mereka memiliki pekerjaan dan penghasilan yang memadai. Sebaliknya pula, mereka yang miskin tidak selalu tinggal di kawasan kumuh. Memang pandangan ini tidak terlalu salah, mengingat permukiman kumuh terbentuk secara informal tanpa direncanakan, sehingga serba tidak beraturan. Namun, kembali ke definisi kemiskinan itu sendiri yang tidak tunggal. Konsep dasar kemiskinan adalah tidak terpenuhinya berbagai bentuk hak-hak dasar manusia, termasuk lapangan pekerjaan dan tempat tinggal yang layak, bahkan termasuk pula hak menyatakan pendapat. Jadi ada juga kemiskinan untuk bisa berpendapat, yang ukurannya juga berbeda. Dengan demikian, berbagai bentuk kemiskinan itu bisa saja tersebar di berbagai bentuk tempat tinggal. Namun yang jelas, jika kita menyoroti soal kumuh, kekumuhan perumahan dan permukiman itu sendiri adalah salah satu bentuk kemiskinan, yaitu akibat tidak terpenuhinya hak dasar tempat tinggal dan lingkungan permukiman yang layak.

Sebagai contoh, jika ada sebuah keluarga yang memiliki penghasilan yang “sebenarnya” (baca: relatif) mencukupi untuk mendapatkan rumah yang lebih baik, namun lebih memilih tinggal sebuah rumah yang kurang memenuhi syarat-syarat kesehatan, yang berada di permukiman kumuh dan padat, maka keluarga ini tetap dikatakan miskin dari sisi pemenuhan tempat tinggal yang layak. Keluarga pas-pasan seperti ini masih menganggap bisa menekan pengeluaran untuk biaya menyewa rumah, meskipun akhirnya keluarga ini memilih tempat tinggal yang kurang ruangan atau jendelanya. Maka yang jadi persoalan adalah, mengapa dengan harga yang mereka “sanggup” keluarkan itu, hanya bisa mendapatkan rumah yang tidak layak huni di lokasi yang mereka inginkan? Persoalan ada di sisi pasokan, yaitu sangat kurangnya pilihan-pilihan rumah yang layak huni pada harga yang mampu mereka jangkau.

Tantangannya kemudian adalah pertama, bagaimana sisi penyediaan perumahan bisa menjamin tidak boleh ada satupun rumah yang tidak memenuhi syarat kelayakan. Tantangan berikutnya adalah, bagaimana sisi penyediaan memastikan rumah layak huni berada pada harga yang terjangkau. Jika pelaku-pelaku di sisi penyediaan bisa saja berasal dari pengembang swasta, masyarakat maupun pemerintah, maka tetap pemerintahlah yang bertanggung-jawab untuk memberdayakan semua pihak tersebut dalam rangka menjamin penyediaan rumah-rumah layak huni pada berbagai tingkatan harga yang terjangkau.

Kembali ke persoalan kekumuhan dan kemiskinan, kesimpulannya, kekumuhan dan kemiskinan sama-sama diakibatkan belum terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat. Dengan demikian, kesepakatan global mengenai hak dasar perumahan bagi setiap penduduk menjadi landasan bagi penggunaan pendekatan berbasis hak-dasar (right-based approach) di dalam penyediaan perumahan dan permukiman bagi semua penduduk, termasuk dalam menerapkan prinsip jaminan bermukim (secure tenure).
 
4.      Kumuh dan Urbanisasi.

Urbanisasi umunya dipandang oleh kalangan pemerintah sebagai penyebab munculnya permukiman kumuh. Pandangan ini kembali melemparkan biang permasalahan pada urusan yang tak jelas siapa penanggung-jawabnya. Apakah memang demikian letak masalahnya? Berbagai literatur dan dokumen badan-badan dunia sudah menggarisbawahi, bahwa pada dasarnya urbanisasi merupakan proses yang alamiah dan menjadi fenomena global di berbagai negara. Lebih jauh, ada faktor penarik dan ada faktor pendorongnya. Bagaimanapun, daya tarik kota masih lebih kuat sebagai faktor penggerak urbanisasi dibanding daya dorong di pedesaan.

Dengan demikian, permukiman kumuh bukanlah fenomena yang diakibatkan oleh urbanisasi, melainkan disebabkan oleh pengelolaan urbanisasi yang belum efektif dan berkelanjutan. Lebih jauh, tantangan yang dihadapi adalah pertumbuhan kota yang cepat namun belum mampu diimbangi oleh kapasitas yang memadai dalam pengelolaannya. Proses urbanisasi yang cepat memiliki tantangan yang terkait dengan menurunnya kualitas ruang kota.

5.      Kota-kota Bebas Kumuh

Masih ada pertanyaan yang meragukan, apakah mungkin dicapai kondisi kota-kota bebas kumuh? Jika target RPJP 2025 bebas kumuh bahkan kini ditargetkan oleh Presiden agar bebas kumuh bisa dicapai tahun 2020, apakah ini target yang realistis? Ada yang menyatakan pesimismenya atau menyebutnya sebagai mission impossible.

Mari kembali kita pikirkan, dengan kembali melihat rumusan persoalan nomor empat di atas, yaitu bahwa jika kita bersepakat dan melihat akar masalahnya pada persoalan tata-kelola urbanisasi, maka tantangan ini adalah sesuatu yang terukur dan bisa dikelola. Artinya, jika kita melakukan reformasi secara berarti, reformasi secara progresif, maka tujuan tersebut bukan hal yang tidak mungkin dicapai. Artinya, mission impossible memang hanya bisa dijalankan oleh tim dan sistim yang tangguh. Di sini memang diperlukan komitmen yang tinggi untuk mencapai target yang tidak gampang tersebut.

Melalui pemahaman yang lebih utuh, evaluasi dan perumusan pendekatan dan strategi yang lebih efektif, dan dengan mengacu pada kesepakatan dan agenda global, mulai dari Habitat Agenda, Universal Declaration of Human Rights, hingga kesepakatan Rio+20: The Future We Want, pada Juni 2012, serta Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP 2005-2025) di Indonesia, maka pencapaian menuju kota-kota bebas kumuh di Indonesia pada tahun 2020 bukan sebatas kesepakatan kosong untuk tujuan pencitraan saja.

Dari pengalaman di negara-negara maju, kota-kota tanpa kumuh dapat dicapai melalui pengelolaan urbanisasi yang berkelanjutan, yaitu pada suatu keadaan dimana kota-kota sudah mencapai tahapan stabilitas urbanisasi (urbanization stability) sebagaimana kota-kota di negara-negara maju, meskipun kota-kota maju tersebut terus berupaya meningkatkan keberlanjutannya. Singkat kata, kota-kota tanpa kumuh adalah kota-kota yang berkelanjutan, yang artinya juga adalah kota-kota untuk semua (kota-kota inklusif atau kota-kota terbuka).

Demikianlah, sebagai kesimpulan, pertama-tama, kiranya kelima butir persoalan terkait permukiman kumuh dan penanganannya ini dapat disepakati oleh para pihak, baik dari kalangan pemerintah, akademisi, lembaga masyarakat, dan para pelaku terkait lainnya.

9 (Sembilan) Agenda Aksi Menuju Kota-kota Bebas Kumuh

Target mencapai kota-kota tanpa perumahan dan permukiman kumuh adalah sesuatu yang realistis, jika dan hanya jika, kita mampu menurunkannya ke dalam langkah-langkah aksi (peta jalan) yang dijadikan komitmen yang tinggi untuk dijalankan bersama-sama, dengan kerja keras dan bersungguh-sungguh.

Agenda pertama adalah dengan menyepakati penggunaan Pendekatan Hak Dasar dan Pendekatan Skala Kota sebagai landasan arah kebijakan penanganan kumuh di perkotaan. Pendekatan Hak-Dasar (right-based approach) adalah pengakuan adanya Hak Dasar Perumahan (housing right). Sedangkan Pendekatan Skala Kota (city-wide approach) adalah melalui penerapan keterpaduan pembangunan kota dan wilayah. Kesepakatan ini perlu menjadi komitmen politik dari para pemimpin dan lembaga pemerintah, baik di tingkat nasional maupun kota, untuk selanjutnya dijadikan landasan pelaksanaan agenda-agenda selanjutnya.

Agenda kedua, merumuskan kerangka kebijakan dan strategi, kerangka kelembagaan, kerangka peraturan dan kerangka pelaksanaan program-program pembangunan kota yang mendukung penerapan Pendekatan Terpadu Skala Kota. Pembuatan kerangka dan sistem yang baru ini tidak dapat dijalankan di dalam ruang vakum, melainkan perlu dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang partisipatif, seiring sejalan dengan evaluasi sistem yang sudah ada dan pengembangan kapasitas untuk mendukung sistem yang baru.

Agenda ketiga, seiring sejalan pula, dengan berlandaskan pada kedua pendekatan di atas, perlu dilakukan evaluasi terhadap kebijakan perumahan maupun kebijakan pembangunan kota, meliputi proses pembuatan kebijakan, perencanaan, kajian kebutuhan, kajian persediaan rumah, kerangka peraturan, kapasitas dan sistem kelembagaan, maupun sistem pembiayaannya. Hasilnya adalah diidentifikasinya berbagai kendala-kendala peraturan, kelembagaan dan mekanisme pembuatan program, untuk kemudian dibangun komitmen untuk menghilangkan semua kendala ini dan menggantikannya dengan sistem yang baru seperti pada butir ke dua di atas.

Agenda keempat, sejalan dengan itu pula, melakukan berbagai program pengembangan kapasitas pengelolaan kota, terutama di bidang infrastruktur, perumahan dan permukiman kota, dan secara tidak langsung di bidang-bidang lainnya. Tujuannya pertama, adalah untuk mencapai kesepahaman politik dan kebijakan terhadap penanganan kumuh dan pembangunan perumahan dan perkotaan. Selanjutnya, kesamaan pemahaman ini perlu diikuti dengan serangkaian kegiatan pengembangan kapasitas dan pembinaan, baik di kalangan pemerintah maupun berbagai kalangan di masyarakat.

Agenda kelima, Menyusun Strategi Pembangunan Kota (SPK) yang berisi program-program prioritas dan terpadu yang berfokus kepada peningkatan kondisi kehidupan dari kelompok miskin dan berpendapatan rendah di perkotaan. Di dalam kerangka SPK, keterpaduan yang hendak dicapai meliputi: penyediaan infrastruktur dan fasilitas kota yang berkeadilan, penataan ruang yang berwawasan lingkungan, pola kegiatan yang berfokus pada regenerasi ruang kota dan pengembangan area-area baru (termasuk perbaikan kampung-kampung kota), pembukaan area bisnis terpadu dan penyediaan lapangan kerja baru, dan pengembangan program-program sosial-budaya masyarakat.

Agenda keenam, mengembangkan sistem penyediaan perumahan dan permukiman swadaya melalui pengembangan sistem kelembagaan jejaring komunitas, kelembagaan pemberdaya, pembuatan instrumen-instrumen dan program kegiatan percontohan yang menggunakan konsep bertumpu pada pemberdayaan komunitas, yang tentunya semuanya mendukung penerapan Pendekatan Hak Dasar di atas.

Agenda ketujuh, prioritisasi program-program terpadu yang menyentuh kawasan kumuh yang paling buruk, dengan angka kematian dan penyakit paling tinggi, tingkat ketiadaan prasarana dan sanitasi paling rendah dan tingkat ketidak-amanan bermukim paling tinggi (squatter).

Agenda kedelapan, komitmen penuh untuk prioritisasi investasi kota pada penyediaan pelayanan dasar umum yang menjangkau permukiman penduduk golongan miskin dan bependapatan rendah di kota, seperti: air minum, sanitasi, energi listrik, prasarana jalan dan drainase, penyediaan perumahan sosial, perumahan umum, fasos-fasum.

Agenda kesembilan, Manajemen pengetahuan tentang perumahan dan permukiman  kumuh di perkotaan. Dalam rangka penanganan kumuh, diperlukan upaya memahami dan mengenali karakteristik fisik-spasial kumuh perkotaan dalam konteks pengelolaan pembangunan kota, dan diperlukan pula upaya memahami dan mengenali karakteristik sosial-ekonomi kumuh perkotaan. Untuk itu diperkukan berbagai bentuk kegiatan pembelajaran dan pengelolaan pengetahuan (knowledge management) terkait permasalahan kumuh ini, untuk memperoleh pengetahuan yang memadai sebagai landasan pembuatan kebijakan yang lebih efektif di dalam penerapannya

Sebagai kesimpulan, melalui kerja keras dan upaya yang sungguh-sungguh untuk menjalankan langkah-langkah aksi tersebut, niscaya target untuk mencapai kota-kota bebas kumuh bukanlah sesuatu yang mustahil dapat kita wujudkan. Dengan demikian dapat kita harapkan pembangunan kota maupun pembangunan kota-kota di dalam suatu wilayah, dapat dijalankan melalui perencanaan dan langkah-langkah yang sistematis dan terpadu, sehingga menghasilkan pembangunan kota yang berkelanjutan secara sosial, ekonomi dan lingkungan.
 

Salam dan terima kasih atas perhatiannya.
 

     1 Oktober 2012, Disampaikan pada Seminar Peringatan Hari Habitat Dunia,
     Hotel Millenium, Jakarta.
 
Ir. Moh. Jehansyah Siregar, MT., Ph.D, Dosen Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK), Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman (KKPP), Institut Teknologi Bandung (ITB),

Selasa, 04 Oktober 2011

MAHALNYA PERUMAHAN BAGI RAKYAT


Pemerintah Daerah harus memiliki pola pandang yang sama dengan Pemerintah Pusat dalam pemenuhan penyediaan perumahan bagi masyarakat di daerahnya. Survei Badan Pusat Statistik yang dilaksanakan pada 2010 mencatatkan angka 22 persen atau sebanyak 13,6 juta rumah tangga tidak memiliki rumah dari total 240 juta jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan kemampuan pengembang membangun rumah, rata-rata hanya sebanyak 300.000 unit per tahun. Padahal pertumbuhan kebutuhan setiap tahun jauh di atas itu.
.
Nah, Jika pemerintah tidak memiliki solusi yang cepat dan tepat untuk mengatasinya, maka angka backlog (kekurangan) pasti akan terus menanjakug pertumbuhan jumlah penduduk usia produktif Lantas upa yang harus dilakukan pemerintah agar kebutuhani masyarakat itu bisu ter penuhi? Siswono Yudohusodo, Mantan Menteri Perumahan Rakyat, mengatakan pemerintah harus berperan dan mampukan intervensi bagi seluruh lapisan masyarakat, khususnya golongan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) mampu memiliki hunian yang layak. Hari Perumahan Nasional yang jatuh setiap tanggal 25 Agustus jelasnya justru bisa dijadikan momentum untuk meluruskan arah pengembangan perumahan nasional agar industri perumahan juga berpihak kepada kebutuhan perumahan bagi MBR.
.
Di era otonomi daerah maka tanggung jawab pembangunan di lndang perumahan memang sebaiknya diberikan pada Pemerintah Daerah. Kelembagaan yang mengatur kebijakan perumahan pada tingkat operasional lapangan ada di tingkat daerah yang langsung menangani lingkungan.
.
"Karena otonomi daerah merupakan sistem manajer!" negara yang memungkinkan suatu keputusan diambil dengan cepat, efektif dan lebih kontekstual dengan memperpendek rentang kendali," ucapnya, beberapa waktu lalu. Selain itu, lanjutnya, masalah perumahan terkait aspek yang amat luas. Jangan lagi terjadi masing-masing daerah hanya mencoba mengatasi permasalahannya sendiri-sendiri.
.
Hal tersebut sebetulnya sudah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP). Pemda memiliki kewajiban untuk memastikan ketersediaan lahan untuk lokasi pembangunan perumahan bagi masyarakat, penyediaan prasarana sarana dan utilitas (PSU) serta terkait man pembangunan rumah.
.
Selain itu Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang mengamanatkan bahwa pembangunan perumahan merupakan urusan wajib Pemda. Hal tersebut berarti bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menjadi ujung tombak dalam melaksanakan kewajiban menjamin perwujudan akan rumah bagi masyarakat, khususnya bagi MBR.
.
Namun sudah menjadi rahasia umum bahwa kemampuan Pemerintah Kabupaten/Kota masih banyak yang terbatas. Karena itulah menurut Suharso Monoarfa, Menteri Negara Perumahan Rakyat, Pemerintah Pusat jelasnya juga akan membantu Pemda untuk mendorong terlaksananya program perumahan di daerah. Dari sisi konsumsi, jelasnya saat ini pemerintah pusat melalui Kementerian Perumahan Rakyat juga mengupayakan agar MBR dapat menjangkau harga rumah yang dibangun oleh pengembang melalui program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).
.
Selain itu tahun ini Pemerintah juga memfasilitasi pembangunan Prasarana, Sarana dan Utilitas perumahan untuk 24 ribu unit rumah di seluruh Indonesia. Pembangunan itu akan menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang perumahan sebesar Rp 150 miliar. Penyaluran DAK merupakan bagian dana perimbangan untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah.
.
"Penyaluran DAK ini dilakukan untuk meningkatkan program perumahan di daerah mengingat fiskal di daerah sangat kecil," ujarnya Beberapa kriteria teknis yani; harus dipenuhi daerah untuk mendapatkan DAK antara lain meliputi kepadatan penduduk, jumlah angka kumulatif kekurangan rumah, kesiapan lahan, dan lokasi perumahan, serta rencana pembangunan rumah.
.
Jehansyah Siregar, Peneliti dari Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman (KKPP) Institut Teknologi Bandung mengatakan, meskipun UU PKP menyebut tanggung jawab ketersediaan lahan berada di pundak Pemda, tetapi bukan berarti Pemerintah Pusat bisa melempar tanggung jawabnya.
.
Masih mahal dan sulitnya urusan pengadaan tanah untuk perumahan karena pemerintah masih menggunakan mekanisme bisnis properti dalam pembebasan lahan maupun perizinan. Namun, semua kendala itu akan hilang jika dikembangkan melalui mekanisme perumahan publik yang terencana.
.
"Pengembangan sistem pe-uian perumahan publik hendaknya menjadi perhatian, terutama dalam pengadaan tanah perumahan rakyat. Sedangkan peran Pemerintah Daerah utamanya adalah mengendalikan proses ini dengan mengacu pada rencana tata ruang dan menjamin pelaksanaannya secara terarah," jelasnya. Pada pemerintah, Jehansyah mengusulkan, bisa mengembangkan model bank-bank tanah untuk menjamin ketersediaan lahan bagi pembangunan perumahan rakyat. Bisa dilakukan lewat dua metode, yaitu skala besar untuk pengembangan kawasan terpadu, serta skala menengah dan kecil guna menciptakan kawasan-kawasan permukiman baru.
.
"Pemerintah pusat perlu segera memiliki model bank tanah skala besar melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN), tugas ini bisa dilaksanakan Perumnas, maupun melalui pendirian BUMD di kota-kota metropolitan di seluruh Indonesia," ujarnya. Tanpa hal itu, maka ketersediaan lahan yang mudah dan murah untuk perumahan rakyat tidak akan berjalan. TIM INFO TEMPO

http://202.52.131.11/node/774537

Sabtu, 30 Juli 2011

Permukiman besar terkendala lahan



OLEH ANUGERAH PERKASA Bisnis Indonesia
.
JAKARTA Pengembangan permukiman skala besar terkendala oleh belum tersedianya kawasan siap bangun di sejumlah wilayah karena masih minimnya pembentukan badan pengelola yang mengatur penyediaan lahan tersebut.
.
Deputi Pengembangan Kawasan Kementerian Perumahan Rakyat Haza-din T. Sitepu mengatakan lahan untuk perumahan dan kawasan permukiman semakin langka dan mahal. Di sisi lain, paparnya, pembangunan kota baru dalam skala besar sangat mendesak dilakukankarena jumlah defisit perumahan [backlog) mencapai 13,6 juta hingga akhir tahun lalu, sementara pencadangan lahan semakin sulit dilakukan.
.
"Permasalahan yang dihadapi adalah pembentukan BP (badan pengelola) yang belum sesuai dengan harapan, di mana dari 122 lokasi hanya terbentuk pada empat lokasi, padahal angka backlog sangat tinggi," ujarnya dalam diskusi soal evaluasi pengembangan permukiman skala besar di metropolitan, pekan lalu.
.
Dia memaparkan kawasan siap bangun (kasiba) ataupun lahan siap bangun (lasiba) ditetapkan oleh kepala daerah, sedangkan BP ditunjuk melalui kompetisi. BP dapat berupa BUMN. BUMD ataupun lembaga lain yang dibentuk oleh pemerintah untuk penge-lolaan kawasan tersebut.
.
Berdasarkan data Ke-menpera, pengembangan kasiba dan lasiba selama 2000-2010 mencakup 120 lokasi dengan luas 31.086 hektare. Namun, menurut Hazadin, sejumlah persoalan menyangkut kasiba mencuat di antaranya minimnya minat kompetisi penyelenggaraan BP karena keterbatasan BUMN dan BUMD, sumber pembiayaan yang belum jelas, serta fungsi pengendalian harga tanah oleh BP kurang berjalan.
.
"Tujuan dan manfaat kasiba adalah pengembangan terintegrasi dengan rencana tata ruang wilayah dan penyediaan tanah dan kaveling siap matang. Namun, pembentukan BP sebagai pengelola masih belum sesuai dengan harapan."
.
Dikritik
.
Pembangunan kota baru di Indonesia juga terus mendapatkan kritik di antaranya menyangkut pendanaan asing dan masih lemahnya koordinasi antara instansi terkait sehingga menyebabkan lemahnya keterpaduan pembangunan.
.
Peneliti tata kota dari Institut Teknologi Bandung Jehansyah Siregar mengatakan investasi pembangunan kola baru pada dasarnya adalah investasi infrastruktur publik, sehingga tidak pantas jika dibangun dengan menggunakan dana asing. Menurut dia. anggaran nasional untuk pembangunan kota baru sudah sangat memadai yakni sekitar Rp 150 Triliun.
.
http://bataviase.co.id/node/749367

Minggu, 27 Maret 2011

Pengadaan Tanah untuk Perumahan Rakyat Perlu Mekanisme yang tepat


Bapak Menteri Perumahan Rakyat masih saja terus menghimbau agar Pemda segera menyediakan tanah untuk perumahan rakyat. Bahkan pemerintah daerah dituding menomor-duakan sektor perumahan dan lebih mengutamakan fasilitas utama daerah ketimbang pembangunan perumahan (Kompas.com, 23 Maret). Himbauan seperti ini sebenarnya sudah dilakukan sejak periode-periode sebelumnya, namun tidak kunjung efektif menggerakkan pemda untuk bisa melaksanakannya.
Sebenarnya bisa dipahami mengapa pemerintah daerah kesulitan dalam penyediaan lahan perumahan bagi rakyat. Masalahnya adalah mekanisme penyediaan perumahannya seperti apa? Himbauan-himbauan Pak Menteri itu mengarah pada mekanisme alokasi APBD untuk pembelian tanah melalui proyek/panitia pembelian tanah. Mekanisme ini hanya sesuai untuk pengadaan tanah skala kecil untuk keperluan fasilitas kota maupun keperluan sektor (dinas-dinas). Dengan mekanisme proyek/panitia pembelian tanah ini memang masih bisa diperoleh tanah di kota, tapi ukurannya kecil, sekitar 1000 m2 - 5000 m2. Sedangkan tanah untuk perumahan rakyat skalanya besar dan satuannya bukan meter persegi tapi hektar!
Jadi, mekanisme pembelian tanah melalui APBD jelas tidak sesuai untuk pengadaan tanah perumahan rakyat. Selain tidak sesuai ukuran dan bentuknya untuk tanah  perumahan, juga tidak sesuai dengan kapasitas APBD Pemda yang masih kesulitan untuk membiayai prasarana dan fasilitas kota lainnya.
Beberapa kasus pembangunan Rusunawa sudah terjadi seperti itu, yaitu menggunakan tanah-tanah ukuran kecil. Di beberapa kasus di atas tanah ukuran 3.500 m2 pun dipaksakan dibangun Rusunawa. Karena tidak cukup, terpaksa dibangun setengah twin-blok. Ini mekanisme pengadaan tanah perumahan yang tidak tepat. Pembangunan Rusunawa dengan cara begini mengakibatkan kekacauan penataan ruang dan perencanaan prasarana dan fasilitas kota akibat konsentrasi yang menyebar kecil-kecil (scattered). Apakah untuk melayani setengah twin-blok harus disediakan halte bis, pasar, puskesmas dan sekolah dasar, misalnya?Akhirnya pola seperti ini membebani daya dukung prasarana dan fasilitas lingkungan yang tidak memadai.
Kesimpulannya, Pemerintah Pusat perlu memberi contoh pengadaan tanah untuk perumahan rakyat, terutama melalui public housing delivery system yang hanya bisa dikelola lembaga berbentuk korporasi publik dan bersifat dedicated authority. Belajar dari HDB, BUMN perumahan di Singapura, di dalam undang-undangnya disebut There is hereby established a body to be known as the Housing and Development Board which is a body corporate and has perpetual succession and may sue and be sued in its corporate name.
Di dalam prakteknya, lahan yang dipilih adalah lahan yang belum terapresiasi oleh prasarana dan fasilitas kota. Artinya ini lahan di luar atau di pinggir kota. Pemerintah merencanakan dan menyiapkan lahan untuk permukiman skala besar dan dilengkapi dengan berbagai prasarana dan fasilitas. Ini pekerjaan besar yang hanya bisa dikelola melalui mekanisme korporasi publik.
Kapasitas sebagian besar Pemda/Pemko tidak mampu melaksanakan mekanisme ini, kecuali kota-kota metropolitan seperti Pemda DKI Jakarta dan Surabaya. Pemerintah di negara lain mencontohkannya lebih dulu melalui BUMN Perumahan, baru kemudian diikuti dan didukung BUMD Perumahan.
Cukup mengherankan juga, mengapa Kempera begitu enggan untuk memperkuat BUMN perumahan seperti Perumnas. Jangan sampai hanya karena tidak ingin dikelola BUMN dan BUMD, maka dipaksakan juga menggunakan APBN (FLPP dan Rusunawa) dan APBD (dengan cara menghimbau-himbau Pemda inilah).
Hendaknya urusan perumahan ini tidak dijalankan dengan insting dan common sense saja. Karena ada konsep mekanismenya, yaitu yang disebut multi moda housing delivery system. Perlu diperhatikan, bahwa pasal 2 PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan menyebutkan masih adanya kewajiban Pemerintah pusat dalam urusan perumahan rakyat! Yaitu melalui urusan pemerintahan yang dibagi bersama. Di sinilah letak tanggung jawab Pemerintah pusat untuk mengembangkan kapasitas, mengembangkan model penanganan dan membangun sistem penyediaan perumahan yang baik.
Salam,
Jehan

Pembelian Cadangan Lahan Perumahan Sebaiknya Dilakukan Lembaga Khusus

Property

Sunday, 27 03 2011
More in Property

BY MUHAMMAD RINALDI

JAKARTA (IFT) – Imbauan agar setiap pemerintah daerah menyediakan cadangan lahan (land bank) untuk pembangunan perumahan dengan menggunakan dana Anggaran Pemasukan dan Belanja Daerah dinilai sejumlah pengamat tidak sesuai dengan kapasitas anggaran daerah yang minim. Mekanisme pembelian sebaiknya diserahkan kepada lembaga khusus dengan alokasi anggaran yang disiapkan pemerintah pusat.

Jehansyah Siregar, Pengamat Permukiman dari Institut Teknologi Bandung (ITB) mengungkapkan kapasitas anggaran daerah sulit diandalkan karena untuk membiayai gaji pegawai, pengadaan sarana dan fasilitas daerah saja masih kekurangan.

“Imbauan Menteri Perumahan Rakyat itu mengarah pada mekanisme alokasi APBD untuk pembelian tanah melalui proyek atau panitia pembelian tanah. Mekanisme ini hanya sesuai untuk pengadaan tanah skala kecil untuk keperluan fasilitas kota, tidak sesuai jika yang dituju adalah menghimpun lahan dalam skala besar,” tegasnya di Jakarta, Jumat.

Menurut dia, pemerintah pusat perlu memberi contoh pengadaan tanah untuk perumahan dengan model public housing delivery system yang hanya bisa dikelola lembaga berbentuk korporasi publik. Semisal Housing Development Board, BUMN perumahan di Singapura yang bertugas menghimpun dan mengalokasikan lahan bagi keperluan pembangunan perumahan.

Upaya menghimpun cadangan lahan dalam skala besar juga tidak dapat dilakukan pada lahan-lahan di tengah kota. Dalam prakteknya di Singapura, lahan yang dipilih merupakan tanah yang lokasinya belum tersentuh fasilitas kota. Artinya lahan-lahan di pinggir kota.

Ali Tranghanda, Direktur Ekseskutif Indonesia Property Watch sepakat jika upaya menghimpun cadangan lahan untuk perumahan dilakukan satu lembaga khusus yang tugasnya membuat perencanaan, pembelian, distribusi dan operasional seperti Badan Penyehatan Perbankan Nasional atau Perusahaan Pengelolaan Aset.

“Cadangan lahan ini sebaiknya diserahkan kepada perusahaan yang bersifat otonomi. Untuk di perkotaan, bisa dihimpun lahan-lahan milik BUMN yang belum dimanfaatkan maksimal,” katanya, Jumat.

Dia menilai fokus pengelolaan cadangan lahan di daerah akan sulit. Selain karena anggaran terbatas, lemahnya kualitas sumber daya manusia di daerah juga dikhawatirkan membuat pengelolaan cadangan lahan tidak maksimal. Sebagai contoh banyak data land bank di daerah yang tidak terawasi dengan baik, sehingga banyak terjerat sengketa, lokasinya tidak jelas, bahkan ada yang sudah berpindah ke pihak ketiga.

Sementara itu, Djan Faridz, Anggota Dewan Perwakilan Daerah menilai upaya menghimpun land bank untuk pembangunan perumahan terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebenarnya tidak sulit. Dia memberi contoh banyak gedung sekolah, pasar dan puskesmas yang kondisi fisiknya memprihatinkan karena tidak pernah direnovasi. Sebagian sarana itu berada di lokasi strategis di tengah kota.

“Kita mulai dari mudah saja, yang tidak butuh keluar anggaran. Pemerintah daerah bisa menggandeng developer swasta untuk membangun gedung sekolah, puskesmas atau pasar yang lebih bagus. Kompensasinya sebagian lahan dipakai untuk membangun apartemen menengah bawah,” katanya, Jumat.

Djan menilai banyak daerah kurang proaktif dalam menjalin kerja sama dengan swasta.  Dia memberi contoh di Jakarta, sebagian besar gedung sekolah di Jakarta sudah lama tidak diperbaiki. Kondisi itu jika terus dibiarkan tidak hanya menurunkan mutu pendidikan, tapi juga membahayakan keselamatan siswa. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebenarnya bisa menggandeng pengembang untuk merenovasi sekolah-sekolah tersebut asal diizinkan membangun permukiman vertikal di sebagian lahan sekolah itu.

“Pemerintah tidak rugi karena sarana daerah menjadi lebih baik, dan sekaligus berhasil menyediakan perumahan bagi rakyatnya,” ujarnya. (*)

-----------------------------------------
indonesiafinancetoday.com/read/5223/Pembelian-Cadangan-Lahan-Perumahan-Sebaiknya-Dilakukan-Lembaga-Khusus

-----------------------------------------

Kamis, 24 Maret 2011

Pemerintah Belum Pastikan Lokasi Rumah Murah

Kebijakan Perumahan
Pemerintah Belum Pastikan Lokasi Rumah Murah
Senin, 7 Maret 2011 | 14:52 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Masyarakat menengah bawah yang berencana membeli rumah murah dengan harga Rp 20 Juta - 25 Juta, rupanya harus bersabar. Ini lantaran kepastian lokasi penyediaan rumah murah ini masih dalam pembahasan.
Program rumah murah ini akan dibangun di Jawa maupun luar Jawa. Kami memerlukan komitmen pemerintah daerah (pemda) dalam mendukung program ini, misalnya tentang BPHTB, sertifikasi, biaya perizinan dan lainnya.
-- Paul Manurung
"Mengenai kepastian lokasinya rumah murah ini, kami masih menyusun dan menjajaki beberapa daerah," ujar Paul Manurung, Deputi Bidang Perumahan Formal Kementerian Perumahan Rakyat saat dihubungi Kompas.com di Jakarta, Senin (7/3/2011).
Menurut Paul, program rumah murah ini akan dibangun di Jawa maupun luar Jawa. "Kami memerlukan komitmen pemerintah daerah (pemda) dalam mendukung program ini, misalnya tentang BPHTB, sertifikasi, biaya perizinan dan lainnya," ujarnya.
Beberapa lokasi yang sudah didukung oleh pemerintah daerah untuk penyediaan rumah murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, kata Paul, seperti Sumatera Utara, Jawa Tengah, Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Timur (NTT). "Daerah-daerah ini pemdanya sudah mendukung program. Kami mengharap diikuti pemda lainnya," jelasnya.
Mengenai kemungkinan penyediaan rumah murah yang berlokasi di Jakarta notabene sebagai pusat kota dan pusat bisnis, Paul mengatakan akan sulit menyediakan rumah murah di Jakarta. "Kita lihat saja tanah semakin sempit dan mahal, sulit kemungkinannya kalau di Jakarta," ujarnya.
Menurutnya, penyediaan rumah murah di sekitaran Jakarta masih bisa dilakukan seperti di Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. "Ini mungkin di kabupatennya, kami tetap mengusahakan yang ada akses supportingnya seperti infrastruktur," jelasnya. (Natalia Ririh)

JEHAN:
Jika perumahan murah dibangun di lokasi yg jauh maka kecil kemungkinan keluarga2 permukiman kumuh informal bersedia direlokasi. Akibatnya, akan dihuni oleh para pendatang baru. Sedangkan permukiman kumuh tidak berkurang. Pemerintah hendaknya tidak membuat pernyataan tanah itu sulit, karena memiliki kewenangan yg luas, apalagi di bawah Janji Presiden. Untuk itu pemerintah perlu mengembangkan pola penyediaan perumahan berbasis komunitas, dengan memanfaatkan lahan2 BUMN spt Pertamina, Pelindo, Bulog, Kemayoran, Perumnas di Ckg, dlsb. Perumahan murah dapat dibangun dg skema hunian campuran berkepadatan tinggi.
Yang sudah harus dipastikan adalah lokasinya di 7 kota metropolitan dan sekitarnya, yaitu Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Semarang, Palembang dan Makassar. Sasarannya adalah pengentasan permukiman kumuh dan informal perkotaan yang tumbuh akibat manajemen kota yang seperti pepesan kosong. Ini paket perumahan dan pembangunan kota (HUD) yang terpadu. Jadi lokasinya bukan di kawasan permukiman nelayan atau pertanian atau perkebunan, yang mana bisa dikembangkan melalui paket sektoral lainnya.
------------------------------------------------------------------------
Kebijakan Perumahan
Mungkinkah Membangun Rumah Murah di Dalam Kota Jakarta?
Senin, 7 Maret 2011 | 15:41 WIB
http://properti.kompas.com/read/2011/03/07/15413141/Mungkinkah.Membangun.Rumah.Murah.di.Dalam.Kota.Jakarta.
JAKARTA, KOMPAS.com - Bersaing dengan gedung-gedung megah dan mewah di kota Megapolitan Jakarta, pembangunan rumah murah disangsikan keberadaannya. Dari lahan sempit sampai nilai estetika menjadi pemicunya.
Lokasi rumah murah sedang dalam penjajakan dan penyusunan. Untuk di Jakarta mungkin susah karena lahan sudah sulit diperoleh. Lalu tanah BUMN juga untuk karyawannya yang menengah ke bawah. Mungkin di sekitaran Jakarta, seperti Bogor, Depok Tangerang
"Lokasi rumah murah sedang dalam penjajakan dan penyusunan. Untuk di Jakarta mungkin susah karena lahan sudah sulit diperoleh. Lalu tanah BUMN juga untuk karyawannya yang menengah ke bawah. Mungkin di sekitaran Jakarta, seperti Bogor, Depok Tangerang dan Bekasi lokasinya," kata Paul Marpaung, Deputi Bidang Perumahan Formal Kementerian Perumahan Rakyat di Jakarta, Senin (7/3/2011).
Namun, menurut Eddy Ganefo, Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), menyediakan rumah murah di Jakarta bisa saja dilakukan. "Lokasi di Jakarta kenapa tidak mungkin. Bisa saja rumah murah di Jakarta, tapi tergantung bagaimana pemdanya? Mau tidak pemda memberikan izin tersebut? Nanti alasannya merusak nilai-nilai estetika kota," katanya saat dihubungi pada pekan lalu.
Eddy menambahkan perlunya intervensi pemerintah pusat yang menginstruksikan kepada pemerintah daerah di tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota untuk mendukung kebijakan ini.
Sementara menurut Ali Hanafia, pengamat properti, lokasi rumah murah di Jakarta bisa saja dibangun dengan melihat sasaran yang tepat. "Bisa saja dibangun di dekat stasiun kereta api, dekat terminal bis, atau tempat-tempat yang memiliki tenaga kerja MBR banyak," papar Ali.
Ali mengatakan selain menyediakan rumah murah, pemerintah harus terus mensosialisasikan pentingnya tinggal di rumah. "Pemetaan dan sosialisasi ini penting juga dilakukan. Jangan hanya membangun rumah murah, tapi juga memberikan pengarahan pentingnya tinggal di dalam rumah layak, bukan di pinggiran kali atau bawah jembatan," terang Ali. (Natalia Ririh)

JEHAN: Sekali lagi sistem penyediaan yang menentukan, bukan pembiaran pasar liberal spt sekarang. Dari pengalaman CODI (Community Org Dev Institute) di Thailand, ini lembaga setingkat Kementerian di bawah Wakil PM, perumahan murah dibangun di lahan2 BUMN yg diserobot atau tak terpakai. Peran CODI adalah pemberdaya, penjamin dan negosiator dari komunitas kumuh berhadapan dengan BUMN-BUMN untuk memperoleh hak sewa jk panjang. Komunitas terorganisir diberi hak sewa/pakai jangka panjang, shg aset negara tidak bocor ke pasar.
---------------------------------------------------------
Rumah Murah
Apersi Berani Tawarkan Rumah Murah Harga Rp 21 Juta
Jumat, 4 Maret 2011 | 20:37 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), Eddy Ganefo mengatakan pihaknya berani menawarkan harga rumah murah lebih rendah menjadi Rp 21 Juta - Rp 22 Juta.
Menurut Eddy, pihaknya mampu memberikan spesifikasi harga lebih murah dari program Kemenpera di kisaran harga Rp 25 Juta. "Kami menyebutnya Rumah Kuntum, ibarat bunga yang belum mekar," katanya saat dihubungi Kompas.com di Jakarta, Jumat (4/3/2011) petang.
Nah, bagaimana komposisi rumah seharga Rp 21-22 juta ini? Eddy memaparkan atap rumah dibuat dari seng, rangkanya dari kayu, dindingnya dari batako, lantai floor, ada jendela, pintu, dan jamban, namun tidak ada plafonnya.
"Ini ukurannya 36 meter persegi, bisa dimekarkan oleh pemiliknya. Setelah memutuskan untuk kredit nanti kami akan memberikan pelatihan bagaimana mengerjakan sendiri ruang-ruang di dalam rumah ini," jelas Eddy.
Dari segi kesehatan, Eddy mengatakan rumah kuntum ini memenuhi unsur-unsur kesehatan. Dimana dinding dari batako dan atap dari seng dibuat rapi sehingga angin tidak tembus ke dalam rumah. "Segi kesehatannya sudah memenuhi, hanya saja dari sisi penglihatannya saja yang harus ditata lagi," jelasnya.
Berani menawarkan rumah dengan harga lebih murah, Eddy mengatakan tetap ada syaratnya. "Kami meminta pemerintah menyediakan lahan, pembangunan infrastruktur, pembangunan fasilitas umum, dan mempermudah perizinan. Harga ini untuk bangunan fisiknya saja," kata Eddy. (Natalia Ririh)
JEHAN: Tepatnya, pembangunan rumah murah diselenggarakan di dalam  mekanisme perumahan publik yang dipimpin oleh public housing corporation (BUMN Perumnas reformasi). Para pengembang yang tergabung di dalam Apersi dikoordinir oleh Perumnas sebagai "registered public housing developers under public housing management". Benar sekali, lahan, infrastruktur, dan fasos-fasum bukan lagi menjadi tg jawab registered developers". Bahkan perijinan tidak perlu dipusingkan di bawah manajemen pengembang publik.
---------------------------------------------------------
Kebijakan Perumahan
Komitmen Pemda Sediakan Rumah Murah Dipertanyakan
Jumat, 4 Maret 2011 | 13:52 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Sulitnya membangun permukiman bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), ditengarai karena komitmen yang tidak dimiliki Pemerintah Daerah (Pemda). Padahal, dalam Undang-undang Perumahan dan Permukiman (UU PKP) pasal 105, disebutkan tanggung jawab ketersediaan lahan dan rencana tata ruang berada di pundak Pemda
Dalam UU PKP itu didasarkan kepada tanggung jawabnya Pemda, tapi kalau Pemdanya tidak memiliki komitmen membangun permukiman dan penataan ruang, maka kawasan permukiman terutama untuk masyarakat berpenghasilan rendah tidak akan terwujud.
"Dalam UU PKP itu didasarkan kepada tanggung jawabnya Pemda, tapi kalau Pemdanya tidak memiliki komitmen membangun permukiman dan penataan ruang, maka kawasan permukiman terutama untuk masyarakat berpenghasilan rendah tidak akan terwujud," kata Hari Ganie, Ketua Bidang Perkotaan dan Permukiman Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) kepada wartawan di Jakarta, Kamis.
Hari menyebutkan apabila kewenangan Pemda dalam UU PKP ini tak dijalankan, maka akan mengulang kegagalan Undang-undang Penataan Ruang tahun 2007. "Jangan sampai pembangunan dilakukan pada wilayah yang bukan peruntukannya. Ini kontra produktif terhadap kaidah perencanaan wilayah dan perkotaan nasional kita," ujarnya.
Untuk mengatasi kurangnya pasokan penyediaan rumah atau backlog, kata Hari, harus menyelesaikan masalahnya di hulu. Seperti ketersediaan lahan, infrastruktur, biaya dan kemudahan perijinan, dan biaya PBB (Pajak Bumi dan Bangunan). "Menyelesaikan masalah permukiman harus menyatukan tata ruangnya. Pemerintah Daerah dengan segala kapasitasnya harus peduli tentang hal ini," ujarnya.
Zulfi Syarif Koto, pengamat dari Housing and Urban Development (HUD) dalam bukunya berjudul Politik Pembangunan Rakyat di Era Reformasi menyebutkan, pemerintah terutama Pemda wajib memberikan perhatian penuh terhadap penyediaan tanah, yang diperlukan bagi penyelenggaraan pembangunan perumahan khususnya Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Zulfi menyebutkan, ke depan agar muncul terobosan pemikiran yang tetap mengacu perundangan dan berdasar tata ruang (RTRW) yang sah, membentuk regulasi yang mempermudah MBR ke bawah dalam memperoleh atau menjangkau rumah layak. (Natalia Ririh)
JEHAN:
Mengapa sulit sekali menagih komitmen Pemda? Adakah Pemda yang mendukung pasal 105 UU-PKP ketika penyusunannya tahun lalu? Atau sebenarnya tidak sesederhana itu, artinya ada delivery system yang harus dikembangkan dan dicontohkan kepada daerah? Jika tidak, berarti pasal 105 ini hanya sepihak untuk membebani Pemda dan terlalu menyederhanakan persoalan pengadaan tanah untuk perumahan rakyat.
Jangan sampai terkesan melempar tanggung jawab pengadaan tanah yang sulit. Pemerintah perlu mengembangkan mekanisme perumahan publik untuk kemudian menjadi contoh bagi daerah. UU-PKP seharusnya menjamin tegaknya mekanisme housing delivery ini, bukan berisi pasal-pasal pembebanan daerah. Daerah akan kebingungan, apakah harus melakukan pembelian tanah melalui panitia 9 misalnya? Di Jepang dan Korea pengadaan tanah perumahan dikembangkan oleh "Perumnas" di sana, yaitu URA dan KNHC, terutama di kota2 metropolitan saja. Karena itu Pemerintah pusat harus memiliki model bank tanah skala besar melalui Perumnas setidaknya