Dalam rangka peringatan World Habitat Day tahun ini, Kementerian
Perumahan Rakyat mengadakan rangkaian kegiatan seminar dengan tema Penanganan Perumahan dan Permukiman Kumuh Menuju Kota-kota Bebas Kumuh di Indonesia pada
2020. Rangkaian seminar ini juga didukung beberapa instansi pemerintah terkait seperti
Bappenas dan Kementerian PU Cipta Karya. Tujuannya
adalah untuk merumuskan Peta Jalan atau
Road Map dari penyiapan rencana aksi penanganan
perumahan dan permukiman kumuh. Diharapkan peta jalan ini dapat mendorong
terwujudnya program-program penanganan perumahan dan permukiman kumuh yang
terpadu dan sinergis antara seluruh aktor yang terlibat, baik di tingkat
nasional maupun daerah. Selain itu, agar program-program perumahan dan
permukiman dapat dijalankan secara efektif di lapangan.
Berdasarkan
hasil diskusi, ada beberapa butir persoalan yang perlu mendapat perhatian untuk
dikaji lebih jauh menyangkut apa yang bisa kita sebut sebagai Diagnosis Kumuh, yaitu menyangkut
persoalan: indikator, kebijakan dan strategi, kemiskinan, urbanisasi dan target
kota bebas kumuh. Pada kesempatan ini, kelima butir persoalan ini coba dikaji
lebih jauh secara kritis.
1.
Indikator Kumuh
Masalah indikator kumuh menjadi topik pembahasan yang selalu muncul,
terutama dari kalangan instansi pemerintah. Memang disadari bahwa pada dasarnya
ukuran atau indikator kekumuhan selalu berulang-ulang dibahas dan bukan
merupakan hal yang baru untuk didefinisikan kembali. Namun masih dipandang perlu
dilakukan penyepakatan sehingga ada satu indikator yang sama untuk menentukan
kawasan kumuh. Penyepakatan tersebut dipandang merupakan langkah awal terhadap
penyediaan data kumuh, yang selanjutnya mendukung perumusan kebijakan
penanganan kumuh. Pemikiran seperti ini bisa dipahami terutama setelah ada
perbedaan pendapat terkait pengukuran kinerja penanganan kumuh antara BPS dan
instansi pelaksana dari jajaran Kemenpera dan Kemen-PU Cipta Karya.
Sedangkan dari kalangan akademisi mengatakan bahwa indikator kumuh sudah
sangat jelas. Indikator kumuh pada dasarnya mudah dikenali. Secara sederhana, perumahan dan permukiman
kumuh di perkotaan dapat dikenali melalui lingkungan permukiman padat dan
semrawut, rumah-rumah yang tidak layak huni dan terbuat dari material yang
mudah terbakar, kurangnya pelayanan air bersih dan sanitasi, serta rendahnya tingkat keamanan bermukim. Permukiman
kumuh juga dapat dikenali sebagai tempat dari berbagai penyakit sosial, tingkat
kesehatan yang rendah, angka kriminal yang tinggi, dan berbagai indikasi menurunnya
tingkat kualitas hidup masyarakat. Indikator yang dipakai secara umum
adalah luas kawasan, jumlah lokasi, dan jumnlah penduduk di permukiman kumuh.
Menurut kalangan akademisi, persoalannya adalah, bahwa mudahnya mengenali indikasi kumuh ternyata
tidak berarti mudah pula upaya penanganannya melalui kebijakan dan strategi
yang tepat. Jadi, pokok persoalannya adalah pilihan kebijakan dan strategi
penanganan, bukan ada tidaknya indikator yang disepakati.
2.
Kebijakan dan Strategi
Penanganan Kumuh
Terkait dengan penetapan indikator seperti di atas, menjadi pertanyaan
selanjutnya adalah, apakah penyepakatan indikator kumuh menjadi prakondisi
pembuatan kebijakan dan strategi? Ataukah cukup menetapkan indikator kumuh
secara umum, untuk kemudian melakukan diagnosis kumuh secara tepat, lalu
menetapkan pilihan pendekatan, kebijakan dan strategi yang efektif?
Di sini penulis lebih memilih pandangan yang kedua. Artinya, jika tidak ada
kebijakan dan strategi yang efektif untuk dapat mengerem laju pertambahan
kawasan dan penduduk permukiman kumuh tersebut, maka kumuh akan mengalami
eskalasi yang semakin sulit diatasi. Sedangkan indikator merupakan instrumen pengukuran
yang diperlukan di semua tingkatan. Ada indikator kebijakan, perencanaan,
hingga ada indikator program.
Pemahaman awal yang dibutuhkan adalah bahwa permukiman
kumuh di perkotaan sudah menjadi fenomena global, khususnya di negara-negara
berkembang dan memberikan tantangan penanganan yang cukup kompleks. Menurut
data PBB (2003), satu
dari enam penduduk adalah penduduk yang tinggal di kawasan kumuh. UN-Habitat
menggarisbawahi, bahwa jika tidak ada kebijakan dan strategi yang efektif, maka
penyebaran populasi kaum urban potensial kumuh diperkirakan akan meningkat dua
kali lipat pada tahun 2030.
Namun, pada pelaksanaannya, berbagai
kebijakan, strategi dan program sudah coba dilakukan di berbagai kota, namun
kumuh tetap menjadi tantangan yang semakin meningkat. Ini berarti negara
dan pemerintah belum memiliki kebijakan yang terpadu dan strategi yang efektif untuk
dapat mengerem laju pertambahan kumuh tersebut, sehingga perlu dijadikan agenda
penting di dalam perumusannya.
3. Kumuh dan Kemiskinan
Secara umum masih dipahami bahwa timbulnya Perumahan dan Permukiman
Kumuh disebabkan oleh dua hal utama, yaitu kemiskinan dan tidak meratanya
pembangunan yang berdampak pada meningkatnya urbanisasi ke area perkotaan di Indonesia. Kemiskinan
dilihat sebagai penyebab timbulnya masalah kumuh. Pertanyaannya, apakah memang
demikian pandangan yang bisa diterima?
Coba kita renungkan sejenak, dan melihat bahwa masalah kemiskinan adalah
masalah yang melekat pada kekumuhan tersebut, atau sebaliknya, kekumuhan melekat
pada kemiskinan. Kemiskinan dan kekumuhan adalah dua sisi mata uang yang sama,
bukan yang satu menyebabkan yang lain. Permukiman kumuh adalah titik
persimpangan dari semua masalah pembangunan yang bermuara pada rendahnya
tingkat kesejahteraan penduduk.
Oleh karena itu, penanganan kumuh adalah bagian dari pengentasan
kemiskinan melalui kebijakan yang terpadu dan strategi yang efektif di bidang
perumahan, permukiman dan pembangunan kota. Melalui pendekatan
berbasis hak-dasar (right-based approach),
dasadari bahwa kemiskinan diakibatkan belum terpenuhinya hak-hak dasar manusia.
Kekumuhan sebagai bagian tak terpisahkan dari kemiskinan juga diakibatkan belum
terpenuhinya hak-hak dasar perumahan.
Ada juga yang mengatakan bahwa mereka yang tinggal di kawasan kumuh
tidak selalu miskin, dalam arti mereka memiliki pekerjaan dan penghasilan yang
memadai. Sebaliknya pula, mereka yang miskin tidak selalu tinggal di kawasan
kumuh. Memang pandangan ini tidak terlalu salah, mengingat permukiman kumuh
terbentuk secara informal tanpa direncanakan, sehingga serba tidak beraturan.
Namun, kembali ke definisi kemiskinan itu sendiri yang tidak tunggal. Konsep
dasar kemiskinan adalah tidak terpenuhinya berbagai bentuk hak-hak dasar
manusia, termasuk lapangan pekerjaan dan tempat tinggal yang layak, bahkan
termasuk pula hak menyatakan pendapat. Jadi ada juga kemiskinan untuk bisa
berpendapat, yang ukurannya juga berbeda. Dengan demikian, berbagai bentuk
kemiskinan itu bisa saja tersebar di berbagai bentuk tempat tinggal. Namun yang
jelas, jika kita menyoroti soal kumuh, kekumuhan perumahan dan permukiman itu
sendiri adalah salah satu bentuk kemiskinan, yaitu akibat tidak terpenuhinya
hak dasar tempat tinggal dan lingkungan permukiman yang layak.
Sebagai contoh, jika ada sebuah keluarga yang memiliki penghasilan yang “sebenarnya”
(baca: relatif) mencukupi untuk mendapatkan rumah yang lebih baik, namun lebih
memilih tinggal sebuah rumah yang kurang memenuhi syarat-syarat kesehatan, yang
berada di permukiman kumuh dan padat, maka keluarga ini tetap dikatakan miskin
dari sisi pemenuhan tempat tinggal yang layak. Keluarga pas-pasan seperti ini
masih menganggap bisa menekan pengeluaran untuk biaya menyewa rumah, meskipun akhirnya
keluarga ini memilih tempat tinggal yang kurang ruangan atau jendelanya. Maka
yang jadi persoalan adalah, mengapa dengan harga yang mereka “sanggup”
keluarkan itu, hanya bisa mendapatkan rumah yang tidak layak huni di lokasi
yang mereka inginkan? Persoalan ada di sisi pasokan, yaitu sangat kurangnya
pilihan-pilihan rumah yang layak huni pada harga yang mampu mereka jangkau.
Tantangannya kemudian adalah pertama, bagaimana sisi penyediaan
perumahan bisa menjamin tidak boleh ada satupun rumah yang tidak memenuhi
syarat kelayakan. Tantangan berikutnya adalah, bagaimana sisi penyediaan
memastikan rumah layak huni berada pada harga yang terjangkau. Jika
pelaku-pelaku di sisi penyediaan bisa saja berasal dari pengembang swasta,
masyarakat maupun pemerintah, maka tetap pemerintahlah yang bertanggung-jawab
untuk memberdayakan semua pihak tersebut dalam rangka menjamin penyediaan
rumah-rumah layak huni pada berbagai tingkatan harga yang terjangkau.
Kembali ke persoalan kekumuhan dan kemiskinan, kesimpulannya,
kekumuhan dan kemiskinan sama-sama diakibatkan belum terpenuhinya hak-hak dasar
masyarakat. Dengan demikian, kesepakatan global mengenai hak dasar perumahan
bagi setiap penduduk menjadi landasan bagi penggunaan pendekatan berbasis
hak-dasar (right-based approach) di
dalam penyediaan perumahan dan permukiman bagi semua penduduk, termasuk dalam
menerapkan prinsip jaminan bermukim (secure
tenure).
4.
Kumuh dan Urbanisasi.
Urbanisasi umunya dipandang oleh kalangan
pemerintah sebagai penyebab munculnya permukiman kumuh. Pandangan ini kembali
melemparkan biang permasalahan pada urusan yang tak jelas siapa
penanggung-jawabnya. Apakah memang demikian letak masalahnya? Berbagai
literatur dan dokumen badan-badan dunia sudah menggarisbawahi, bahwa pada dasarnya
urbanisasi merupakan proses yang alamiah dan menjadi fenomena global di
berbagai negara. Lebih jauh, ada faktor penarik dan ada faktor pendorongnya.
Bagaimanapun, daya tarik kota masih lebih kuat sebagai faktor penggerak
urbanisasi dibanding daya dorong di pedesaan.
Dengan demikian, permukiman kumuh bukanlah fenomena
yang diakibatkan oleh urbanisasi, melainkan disebabkan oleh pengelolaan
urbanisasi yang belum efektif dan berkelanjutan. Lebih jauh, tantangan yang
dihadapi adalah pertumbuhan kota yang cepat namun belum mampu diimbangi oleh
kapasitas yang memadai dalam pengelolaannya. Proses urbanisasi yang cepat
memiliki tantangan yang terkait dengan menurunnya kualitas ruang kota.
5.
Kota-kota
Bebas Kumuh
Masih ada
pertanyaan yang meragukan, apakah mungkin dicapai kondisi kota-kota bebas
kumuh? Jika target RPJP 2025 bebas kumuh bahkan kini ditargetkan oleh Presiden
agar bebas kumuh bisa dicapai tahun 2020, apakah ini target yang realistis? Ada
yang menyatakan pesimismenya atau menyebutnya sebagai mission impossible.
Mari kembali
kita pikirkan, dengan kembali melihat rumusan persoalan nomor empat di atas,
yaitu bahwa jika kita bersepakat dan melihat akar masalahnya pada persoalan
tata-kelola urbanisasi, maka tantangan ini adalah sesuatu yang terukur dan bisa
dikelola. Artinya, jika kita melakukan reformasi secara berarti, reformasi
secara progresif, maka tujuan tersebut bukan hal yang tidak mungkin dicapai.
Artinya, mission impossible memang hanya
bisa dijalankan oleh tim dan sistim yang tangguh. Di sini memang diperlukan
komitmen yang tinggi untuk mencapai target yang tidak gampang tersebut.
Melalui pemahaman
yang lebih utuh, evaluasi dan perumusan pendekatan dan strategi yang lebih
efektif, dan dengan mengacu pada kesepakatan dan agenda global, mulai dari Habitat Agenda, Universal
Declaration of Human Rights, hingga kesepakatan Rio+20: The Future We Want, pada Juni 2012, serta Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP 2005-2025) di Indonesia, maka pencapaian menuju kota-kota bebas kumuh di Indonesia pada
tahun 2020 bukan sebatas kesepakatan kosong untuk tujuan pencitraan saja.
Dari
pengalaman di negara-negara maju, kota-kota tanpa kumuh dapat dicapai melalui pengelolaan urbanisasi yang
berkelanjutan, yaitu pada suatu keadaan dimana kota-kota sudah mencapai tahapan
stabilitas urbanisasi (urbanization
stability) sebagaimana kota-kota di negara-negara maju, meskipun kota-kota
maju tersebut terus berupaya meningkatkan keberlanjutannya. Singkat kata,
kota-kota tanpa kumuh adalah kota-kota yang berkelanjutan, yang artinya juga
adalah kota-kota untuk semua (kota-kota inklusif atau kota-kota terbuka).
Demikianlah, sebagai kesimpulan, pertama-tama,
kiranya kelima butir persoalan terkait permukiman kumuh dan penanganannya ini
dapat disepakati oleh para pihak, baik dari kalangan pemerintah, akademisi,
lembaga masyarakat, dan para pelaku terkait lainnya.
9 (Sembilan) Agenda Aksi Menuju Kota-kota Bebas Kumuh
Target mencapai kota-kota tanpa perumahan dan
permukiman kumuh adalah sesuatu yang realistis, jika dan hanya jika, kita mampu
menurunkannya ke dalam langkah-langkah aksi (peta jalan) yang dijadikan
komitmen yang tinggi untuk dijalankan bersama-sama, dengan kerja keras dan
bersungguh-sungguh.
Agenda pertama adalah dengan
menyepakati penggunaan Pendekatan Hak Dasar dan Pendekatan Skala Kota sebagai
landasan arah kebijakan penanganan kumuh di perkotaan. Pendekatan Hak-Dasar (right-based approach) adalah pengakuan adanya
Hak Dasar Perumahan (housing right).
Sedangkan Pendekatan Skala Kota (city-wide
approach) adalah melalui penerapan keterpaduan pembangunan kota dan wilayah. Kesepakatan
ini perlu menjadi komitmen politik dari para pemimpin dan lembaga pemerintah,
baik di tingkat nasional maupun kota, untuk selanjutnya dijadikan landasan
pelaksanaan agenda-agenda selanjutnya.
Agenda kedua, merumuskan
kerangka kebijakan dan strategi, kerangka kelembagaan, kerangka peraturan dan
kerangka pelaksanaan program-program pembangunan kota yang mendukung penerapan Pendekatan Terpadu Skala Kota. Pembuatan
kerangka dan sistem yang baru ini tidak dapat dijalankan di dalam ruang vakum,
melainkan perlu dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang partisipatif,
seiring sejalan dengan evaluasi sistem yang sudah ada dan pengembangan kapasitas
untuk mendukung sistem yang baru.
Agenda ketiga, seiring sejalan pula, dengan
berlandaskan pada kedua pendekatan di atas, perlu dilakukan evaluasi terhadap kebijakan perumahan maupun
kebijakan pembangunan kota, meliputi proses pembuatan kebijakan, perencanaan,
kajian kebutuhan, kajian persediaan rumah, kerangka peraturan, kapasitas dan
sistem kelembagaan, maupun sistem pembiayaannya. Hasilnya adalah
diidentifikasinya berbagai kendala-kendala peraturan, kelembagaan dan mekanisme
pembuatan program, untuk kemudian dibangun komitmen untuk menghilangkan semua
kendala ini dan menggantikannya dengan sistem yang baru seperti pada butir ke
dua di atas.
Agenda keempat, sejalan dengan itu
pula, melakukan berbagai program pengembangan kapasitas pengelolaan kota,
terutama di bidang infrastruktur, perumahan dan permukiman kota, dan secara
tidak langsung di bidang-bidang lainnya. Tujuannya pertama, adalah untuk
mencapai kesepahaman politik dan kebijakan terhadap penanganan kumuh dan
pembangunan perumahan dan perkotaan. Selanjutnya, kesamaan pemahaman ini perlu
diikuti dengan serangkaian kegiatan pengembangan kapasitas dan pembinaan, baik
di kalangan pemerintah maupun berbagai kalangan di masyarakat.
Agenda kelima, Menyusun Strategi Pembangunan Kota (SPK) yang
berisi program-program prioritas dan terpadu yang berfokus kepada peningkatan
kondisi kehidupan dari kelompok miskin dan berpendapatan rendah di perkotaan.
Di dalam kerangka SPK, keterpaduan yang hendak dicapai meliputi: penyediaan
infrastruktur dan fasilitas kota yang berkeadilan, penataan ruang yang
berwawasan lingkungan, pola kegiatan yang berfokus pada regenerasi ruang kota
dan pengembangan area-area baru (termasuk perbaikan kampung-kampung kota),
pembukaan area bisnis terpadu dan penyediaan lapangan kerja baru, dan
pengembangan program-program sosial-budaya masyarakat.
Agenda keenam, mengembangkan
sistem penyediaan perumahan dan permukiman swadaya melalui pengembangan sistem
kelembagaan jejaring komunitas, kelembagaan pemberdaya, pembuatan instrumen-instrumen dan program kegiatan
percontohan yang menggunakan konsep bertumpu pada pemberdayaan komunitas, yang tentunya semuanya
mendukung penerapan Pendekatan Hak Dasar di
atas.
Agenda ketujuh, prioritisasi
program-program terpadu yang menyentuh kawasan kumuh yang paling buruk, dengan
angka kematian dan penyakit paling tinggi, tingkat ketiadaan prasarana dan
sanitasi paling rendah dan tingkat ketidak-amanan bermukim paling tinggi (squatter).
Agenda kedelapan, komitmen penuh untuk prioritisasi investasi kota pada penyediaan pelayanan
dasar umum yang menjangkau permukiman penduduk golongan miskin dan bependapatan
rendah di kota, seperti: air minum, sanitasi, energi listrik, prasarana jalan
dan drainase, penyediaan perumahan sosial, perumahan umum, fasos-fasum.
Agenda kesembilan, Manajemen pengetahuan tentang perumahan dan
permukiman kumuh di perkotaan. Dalam rangka penanganan kumuh, diperlukan
upaya memahami dan mengenali karakteristik fisik-spasial kumuh perkotaan dalam
konteks pengelolaan pembangunan kota, dan diperlukan pula upaya memahami dan
mengenali karakteristik sosial-ekonomi kumuh perkotaan. Untuk itu diperkukan berbagai bentuk kegiatan pembelajaran dan
pengelolaan pengetahuan (knowledge
management) terkait permasalahan kumuh ini, untuk memperoleh pengetahuan
yang memadai sebagai landasan pembuatan kebijakan yang lebih efektif di dalam
penerapannya
Sebagai
kesimpulan, melalui kerja keras dan upaya yang sungguh-sungguh untuk
menjalankan langkah-langkah aksi tersebut, niscaya target untuk mencapai
kota-kota bebas kumuh bukanlah sesuatu yang mustahil dapat kita wujudkan. Dengan
demikian dapat kita harapkan pembangunan kota maupun pembangunan kota-kota di
dalam suatu wilayah, dapat dijalankan melalui perencanaan dan langkah-langkah
yang sistematis dan terpadu, sehingga menghasilkan pembangunan kota yang
berkelanjutan secara sosial, ekonomi dan lingkungan.
Salam dan
terima kasih atas perhatiannya.
1 Oktober 2012, Disampaikan pada Seminar Peringatan Hari
Habitat Dunia,
Hotel Millenium, Jakarta.
Ir. Moh. Jehansyah Siregar, MT., Ph.D, Dosen Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan
Pengembangan Kebijakan (SAPPK), Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman
(KKPP), Institut Teknologi Bandung (ITB),