Minggu, 20 Maret 2011

Bukan Harga Tanah, Skema dari Kemenperalah yang Menghambat

Di dalam sebuah pemberitaan, disebutkan bahwa realisasi Rusunawa di Malang terhambat harga tanah (KOMPAS.com, Sabtu, 19 Maret 2011 | 23:04 WIB). Realisasi pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) di Desa Pagentan, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, masih terhambat harga lahan yang dinilai terlalu tinggi, yang mencapai Rp 2,5 juta per meter persegi. Keadaan ini menjadi dilema di Malang, karena Kementerian Perumahan Rakyat (Kempera) memberi waktu batas akhir penyelesaian pembebasan lahan akhir Juli 2011.
 
Sekali lagi, Kemenpera tetap memaksakan skema proyek dan mekanisme pasar untuk membangun menara-menara Rusunawa. Sebagaimana pemberitaan di atas, akibatnya banyak masalah dijumpai dalam penerapannya di daerah-daerah. Jadi yang menghambat ini sebenarnya skema dari Kemenpera, bukan soal harga tanah. Mengapa demikian? Karena pengadaan rusunawa tetap dengan menggunakan skema pencampuran APBN dan APBD.
 
Pengadaan Rusunawa jangan sampai mencampur aduk antara APBN dan APBD. Karena akibatnya, pertama, akan membuat kekacauan fiskal antara pusat dan daerah, yang sudah memiliki aturan-aturannya. Kedua, pengelolaan dan penganggaran pengelolaan untuk tahap selanjutnya menjadi tidak jelas, apakah ditujukan untuk mengelola aset pusat atau daerah? Padahal tahap pengelolaan adalah tahap penting dalam pengadaan Rusunawa sebagai public housing. Ketiga, skema ini membebani APBD melalui anggaran pembebasan tanah yang sulit. Pengadaan tanah untuk perumahan rakyat membutuhkan proses yang cepat an massal mengingat jumlahnya yang besar. Sedangkan pembebasan tanah melalui panitia tanah di daerah akan sangat terbatas kapasitasnya mengingat prosesnya yang panjang. Di sisi lain, APBN dari Kempera untuk proyek konstruksi bangunan tak ada masalah, tinggal dikucurkan dengan enak.
 
 
Solusi
 
Pemerintah melalui Kempera janganlah memaksa untuk tetap memakai APBN dan APBD campuran dalam pengadaan rusunawa. Skema seperti ini akan terus berpotensi menghasilkan rumah susun terlantar, mistarget kelompok sasaran, dan mendepresiasi aset nasional dan daerah.  Lebih jauh, akan mengacaukan pemanfaatan ruang di daerah karena pendekatan proyek-proyek ini tidak memiliki kapasitas dalam persiapan, perencanaan dan pengembangan kawasan.
 
Di berbagai negara yang maju urusan perumahannya, pengadaan public rental housing ini dilakukan melalui kerjasama BUMN dan BUMD secara utuh dan sinergis. Tidak ada skema mencampur-campur aset pusat dan aset daerah. Peran BUMN juga lebih dominan mengambil segmen kelas menengah dan bawah, sedangkan BUMD fokus di segmen miskin (social housing). Selain menghasilkan kejelasan anggaran, kerjasama BUMN dan BUMD juga lebih berpotensi melakukan tenant management dan asset management yang managable. Sehingga pendekatan korporasi benar-benar bisa lebih menjamin ketepatan sasaran dan menghasilkan pengelolaan aset dan kawasan yang terus mengalami apresiasi.
 
Yang mengherankan saya, meskipun sudah banyak pemberitaan mengungkapkan kegagalan program rusunawa yang banyak terlantar dan tidak mengenai sasaran, mengapa Kemenpera tetap memaksakan menggunakan skema yang sama?

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda