Senin, 21 Maret 2011

Pemerintah Lempar Tanggung Jawab

08-03-2011
(Bisnis Indonesia, Selasa-8 Maret 2011)

JAKARTA: Sejumlah kalangan menilai pemerintah pusat seakan-akan melempar tanggung jawab kepada daerah soal penyediaan tanah bagi perumahan rakyat dengan berlindung di balik UU No. 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP).

Dengan adanya UU tersebut, beberapa pihak seperti Kementerian Perumahan Rakyat menempatkan pemerintah daerah paling bertanggung jawab dalam pengadaan tanah untuk rumah murah. Ukuran ini bahkan dijadikan tolok ukur komitmen pemda dalam berkontribusi dalam pembangunan perumahan rakyat. Meskipun di dalam UU PKP Pasal 105 disebutkan tanggung jawab ketersediaan lahan berada di pundak pemda, hal ini akhirnya hanya terkesan melempar tanggung jawab pengadaan tanah perumahan.

Tidak bisa seperti itu, kata Anggota Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman (KKPP) Institut Teknologi Bandung Jehansyah Siregar. Menurut dia, urusan pengadaan tanah perumahan rakyat dipandang sulit dan mahal karena logika pemerintah sebatas menggunakan mekanisme bisnis properti.

Logika tersebut akan selalu diliputi beragam kendala dan biaya tinggi dalam pembebasan tanah maupun perizinan lokasinya. Namun, dia yakin semua kendala ini akan hilang, jika penyediaan lahan dikembangkan melalui mekanisme perumahan publik yang terencana. Dia mendesak pengembangan sistem penyediaan perumahan publik menjadi fokus perhatian, terutama dalam pengadaan tanah perumahan rakyat. Jika sistem ini berjalan, tugas utama pemda adalah mengendalikan proses penyediaan perumahan publik dengan mengacu pada rencana tata ruang dan menjamin pelaksanaannya secara terarah. Di dalam penyediaan perumahan publik, bank-bank tanah bisa dibentuk daerah lewat mekanisme housing delivery system. Mekanisme inilah yang sebenarnya harus dijamin di dalam UU PKP. Bukannya pasal-pasal yang membebani daerah tanpa kejelasan bagaimana sistem pengadaannya.

Menteri Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa mengatakan permasalahan produksi perumahan selama ini terkendala oleh minimnya jumlah bank tanah yang tersedia di setiap daerah. Minimnya alokasi itu dianggap sebagai faktor serius dalam mendorong lonjakan akumulasi defisit perumahan. Karena itu, pemda bisa dipaksa menyediakan bank tanah sebagai bahan baku vital pembangunan rumah setelah terbitnya UU PKP.


Tidak jelas

Jehan mengatakan mekanisme penyediaan lahan oleh pemda menurut UU PKP dinilainya tidak jelas, sehingga akan menimbulkan kebingungan di setiap daerah. Apakah pemda harus melakukan pembelian tanah melalui panitia sembilan yang prosesnya sangat panjang? Lagipula tidak semua daerah memiliki kesamaan tekanan urbanisasi yang tinggi, sehingga kebutuhan perumahannya juga akan berbeda-beda.

Di negara-negara maju seperti Jepang dan Korea Selatan, pengadaan tanah perumahan dikembangkan oleh BUMN yaitu Urban Redevelopment Authority (URA) dan Korean National Housing Corporation (KNHC), terutama di kota-kota metropolitan. Pada umumnya, pengadaan tanah skala besar oleh BUMN di negara-negara tersebut dilakukan melalui prioritas alih hak pengelolaan tanah oleh BUMN. Untuk pengelolaan lahan skala sedang di perkotaan, URA di Singapura dan Jepang berperan aktif mengendalikan pembangunannya melalui pendekatan redevelopment atau renaissance.

Karena itu, adanya penekanan kepentingan publik dan misi menjalankan pola pertumbuhan kawasan yang berkualitas menyebabkan pengadaan lahan permukiman di tingkat hulu seperti itu tidak bisa diserahkan kepada pihak swasta. Jadi, jika ada pandangan yang mengatakan bahwa pemda adalah penguasa atas tanah-tanah yang banyak tersedia untuk tanah perumahan, hal ini tidak tepat. Semua tingkat pemerintahan memiliki kapasitas dan kewenangan yang sama terhadap tanah. Terlebih, pemerintah pusat melalui kalangan BUMN memiliki cadangan tanah yang lebih banyak. Apalagi, jika memasukkan tanah-tanah BUMN perkebunan, kehutanan dan pertanian yang sudah masanya dialihfungsikan. (Yusuf Waluyo Jati)





0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda