Kamis, 24 Maret 2011

Daerah Perlu Contoh Penyediaan Tanah Perumahan

Ada kecenderungan beberapa pihak menempatkan pemerintah daerah paling bertanggung-jawab dalam pengadaan tanah untuk rumah murah. Bahkan dijadikan tolok-ukur komitmen Pemda dalam berkontribusi dalam pembangunan perumahan rakyat. Meskipun di dalam Undang-undang Perumahan dan Permukiman (UU PKP) pasal 105 disebutkan tanggung jawab ketersediaan lahan berada di pundak Pemda, hal ini akhirnya hanya terkesan melempar tanggung jawab pengadaan tanah perumahan. Mengapa demikian?
Sebenarnya urusan pengadaan tanah untuk perumahan rakyat dipandang sulit dan mahal karena masih sebatas menggunakan mekanisme bisnis properti dimana memang ada beragam kendala dan biaya tinggi dalam pembebasan tanah maupun perijinan lokasinya. Namun semua kendala ini akan hilang jika dikembangkan melalui mekanisme perumahan publik yang terencana. Pengembangan sistem penyediaan perumahan publik hendaknya menjadi perhatian, terutama dalam pengadaan tanah perumahan rakyat. Sedangkan peran pemerintah daerah utamanya adalah mengendalikan proses ini dengan mengacu pada rencana tata ruang dan menjamin pelaksanannya secara terarah.
Untuk itu, pemerintah perlu segera mengembangkan bank-bank tanah melalui mekanisme perumahan publik. Mekanisme housing delivery inilah yang sebenarnya harus dijamin  di dalam Undang-undang Perumahan dan Permukiman (UU PKP).  Bukannya pasal-pasal yang membebani daerah tanpa kejelasan bagaimana sistem pengadaannya. Jadi, meskipun di pasal 105 disebutkan tanggung jawab ketersediaan lahan berada di pundak Pemda, tanpa kejelasan mekanisme yang efektif maka tidak akan berjalan.
Jika dikaji ulang riwayat penyusunan UU-PKP ini setahun yang lalu sebenarnya tidak jelas juga, pemda mana yang berkomitmen menjalankan pasal ini. Apalagi daerah sebenarnya kebingungan dengan mekanisme seperti apa yang bisa dipakai. Apakah harus melakukan pembelian tanah melalui panitia 9 misalnya, yang prosesnya panjang sekali? Sedangkan kebutuhan tanah untuk kegiatan pemerintah daerah tentu tidaklah sebanyak kebutuhan tanah untuk perumahan rakyat. Lagipula tidak semua daerah memiliki kesamaan tekanan urbanisasi yang tinggi sehingga kebutuhan perumahannya juga akan berbeda-beda.
Di Jepang dan Korea pengadaan tanah perumahan dikembangkan oleh "Perumnas" di sana, yaitu URA dan KNHC, terutama di kota2 metropolitan. Umumnya pengadaan tanah skala besar oleh BUMN di negaranya tersebut dilakukan melalui prioritisasi alih hak pengelolaan tanah oleh BUMN-BUMN, dari tanah perkebunan atau pertanian menjadi tanah permukiman dan perkotaan. Di Jepang, setelah menerima hak pengelolaan tanah skala besar, URA bekerjasama dengan Japan Railway (BUMN Kereta Api) sebagai ujung tombak dalam mengembangkan kawasan-kawasan permukiman baru. Sedangkan untuk pengelolaan lahan skala sedang di perkotaan, URA di Singapura dan Jepang yang berperan mengendalikan pembangunannya melalui pendekatan redevelopment atau renaissance.
Adanya kepentingan publik dan misi menjalankan pola pertumbuhan kawasan yang berkualitas menyebabkan pengadaan lahan permukiman di tingkat hulu seperti itu tidak bisa diserahkan kepada pihak swasta. Sebenarnys Konstitusi UUD 1945 di pasal 33 sudah mengamanatkan bahwa bumi nusantara harus dikelola oleh negara. Kata kata "dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat" ini bermakna bahwa lahan mentah untuk permukiman di tingkat hulu harus dikelola oleh negara melalui berbagai mekanisme publik.
Jadi jika ada pandangan yang mengatakan bahwa pemerintah daerah adalah penguasa atas tanah-tanah yang banyak tersedia untuk tanah perumahan, hal ini tidak tepat. Semua tingkatan pemerintahan memiliki kapasitas dan kewenangan yang sama terhadap tanah.  Bahkan sebenarnya pemerintah pusat melalui BUMN-BUMN memiliki tanah yang lebih banyak. Apalagi jika memasukkan tanah-tanah BUMN perkebunan, kehutanan dan pertanian yang sudah masanya dialihkan fungsinya.
Karena itu, belajar dari tiga negara Asia yang telah maju tersebut, Pemerintah pusat perlu segera memiliki model bank tanah skala besar melalui BUMN (Perumnas reformasi maupun pendirian lebih dari satu BUMN) setidaknya di 6 Metropolitan tanah air, yaitu di Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Semarang, Palembang, Makassar dan Banjarmasin, yang dikembangkan melalui mekanisme pengembangan kawasan terpadu berskala besar. Sedangkan untuk bank tanah skala menengah dan kecil di kawasan pusat perkotaan pemerintah perlu segera membuat model pengelolaan redevelopment/renaissance seperti URA di Singapura dan URA di Jepang.

Salam,
Jehan

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda