Selasa, 09 Oktober 2012

Target Menuju Kota-kota Bebas Kumuh di Indonesia pada 2020: Peta Jalan yang Realistis dan Penuh Komitmen


Dalam rangka peringatan World Habitat Day tahun ini, Kementerian Perumahan Rakyat mengadakan rangkaian kegiatan seminar dengan tema Penanganan Perumahan dan Permukiman Kumuh Menuju Kota-kota Bebas Kumuh di Indonesia pada 2020. Rangkaian seminar ini juga didukung beberapa instansi pemerintah terkait seperti Bappenas dan Kementerian PU Cipta Karya. Tujuannya adalah untuk merumuskan Peta Jalan atau Road Map dari penyiapan rencana aksi penanganan perumahan dan permukiman kumuh. Diharapkan peta jalan ini dapat mendorong terwujudnya program-program penanganan perumahan dan permukiman kumuh yang terpadu dan sinergis antara seluruh aktor yang terlibat, baik di tingkat nasional maupun daerah. Selain itu, agar program-program perumahan dan permukiman dapat dijalankan secara efektif di lapangan.

Berdasarkan hasil diskusi, ada beberapa butir persoalan yang perlu mendapat perhatian untuk dikaji lebih jauh menyangkut apa yang bisa kita sebut sebagai Diagnosis Kumuh, yaitu menyangkut persoalan: indikator, kebijakan dan strategi, kemiskinan, urbanisasi dan target kota bebas kumuh. Pada kesempatan ini, kelima butir persoalan ini coba dikaji lebih jauh secara kritis.

1.      Indikator Kumuh

Masalah indikator kumuh menjadi topik pembahasan yang selalu muncul, terutama dari kalangan instansi pemerintah. Memang disadari bahwa pada dasarnya ukuran atau indikator kekumuhan selalu berulang-ulang dibahas dan bukan merupakan hal yang baru untuk didefinisikan kembali. Namun masih dipandang perlu dilakukan penyepakatan sehingga ada satu indikator yang sama untuk menentukan kawasan kumuh. Penyepakatan tersebut dipandang merupakan langkah awal terhadap penyediaan data kumuh, yang selanjutnya mendukung perumusan kebijakan penanganan kumuh. Pemikiran seperti ini bisa dipahami terutama setelah ada perbedaan pendapat terkait pengukuran kinerja penanganan kumuh antara BPS dan instansi pelaksana dari jajaran Kemenpera dan Kemen-PU Cipta Karya.

Sedangkan dari kalangan akademisi mengatakan bahwa indikator kumuh sudah sangat jelas. Indikator kumuh pada dasarnya mudah dikenali. Secara sederhana, perumahan dan permukiman kumuh di perkotaan dapat dikenali melalui lingkungan permukiman padat dan semrawut, rumah-rumah yang tidak layak huni dan terbuat dari material yang mudah terbakar, kurangnya pelayanan air bersih dan sanitasi,  serta rendahnya tingkat keamanan bermukim. Permukiman kumuh juga dapat dikenali sebagai tempat dari berbagai penyakit sosial, tingkat kesehatan yang rendah, angka kriminal yang tinggi, dan berbagai indikasi menurunnya tingkat kualitas hidup masyarakat. Indikator yang dipakai secara umum adalah luas kawasan, jumlah lokasi, dan jumnlah penduduk di permukiman kumuh.

Menurut kalangan akademisi, persoalannya adalah, bahwa mudahnya mengenali indikasi kumuh ternyata tidak berarti mudah pula upaya penanganannya melalui kebijakan dan strategi yang tepat. Jadi, pokok persoalannya adalah pilihan kebijakan dan strategi penanganan, bukan ada tidaknya indikator yang disepakati.

2.      Kebijakan dan Strategi Penanganan Kumuh

Terkait dengan penetapan indikator seperti di atas, menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, apakah penyepakatan indikator kumuh menjadi prakondisi pembuatan kebijakan dan strategi? Ataukah cukup menetapkan indikator kumuh secara umum, untuk kemudian melakukan diagnosis kumuh secara tepat, lalu menetapkan pilihan pendekatan, kebijakan dan strategi yang efektif?

Di sini penulis lebih memilih pandangan yang kedua. Artinya, jika tidak ada kebijakan dan strategi yang efektif untuk dapat mengerem laju pertambahan kawasan dan penduduk permukiman kumuh tersebut, maka kumuh akan mengalami eskalasi yang semakin sulit diatasi. Sedangkan indikator merupakan instrumen pengukuran yang diperlukan di semua tingkatan. Ada indikator kebijakan, perencanaan, hingga ada indikator program.

Pemahaman awal yang dibutuhkan adalah bahwa permukiman kumuh di perkotaan sudah menjadi fenomena global, khususnya di negara-negara berkembang dan memberikan tantangan penanganan yang cukup kompleks. Menurut data PBB (2003), satu dari enam penduduk adalah penduduk yang tinggal di kawasan kumuh. UN-Habitat menggarisbawahi, bahwa jika tidak ada kebijakan dan strategi yang efektif, maka penyebaran populasi kaum urban potensial kumuh diperkirakan akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2030.

Namun, pada pelaksanaannya, berbagai kebijakan, strategi dan program sudah coba dilakukan di berbagai kota, namun kumuh tetap menjadi tantangan yang semakin meningkat. Ini berarti negara dan pemerintah belum memiliki kebijakan yang terpadu dan strategi yang efektif untuk dapat mengerem laju pertambahan kumuh tersebut, sehingga perlu dijadikan agenda penting di dalam perumusannya.

3.      Kumuh dan Kemiskinan

Secara umum masih dipahami bahwa timbulnya Perumahan dan Permukiman Kumuh disebabkan oleh dua hal utama, yaitu kemiskinan dan tidak meratanya pembangunan yang berdampak pada meningkatnya urbanisasi  ke area perkotaan di Indonesia. Kemiskinan dilihat sebagai penyebab timbulnya masalah kumuh. Pertanyaannya, apakah memang demikian pandangan yang bisa diterima?

Coba kita renungkan sejenak, dan melihat bahwa masalah kemiskinan adalah masalah yang melekat pada kekumuhan tersebut, atau sebaliknya, kekumuhan melekat pada kemiskinan. Kemiskinan dan kekumuhan adalah dua sisi mata uang yang sama, bukan yang satu menyebabkan yang lain. Permukiman kumuh adalah titik persimpangan dari semua masalah pembangunan yang bermuara pada rendahnya tingkat kesejahteraan penduduk.

Oleh karena itu, penanganan kumuh adalah bagian dari pengentasan kemiskinan melalui kebijakan yang terpadu dan strategi yang efektif di bidang perumahan, permukiman dan pembangunan kota. Melalui pendekatan berbasis hak-dasar (right-based approach), dasadari bahwa kemiskinan diakibatkan belum terpenuhinya hak-hak dasar manusia. Kekumuhan sebagai bagian tak terpisahkan dari kemiskinan juga diakibatkan belum terpenuhinya hak-hak dasar perumahan.

Ada juga yang mengatakan bahwa mereka yang tinggal di kawasan kumuh tidak selalu miskin, dalam arti mereka memiliki pekerjaan dan penghasilan yang memadai. Sebaliknya pula, mereka yang miskin tidak selalu tinggal di kawasan kumuh. Memang pandangan ini tidak terlalu salah, mengingat permukiman kumuh terbentuk secara informal tanpa direncanakan, sehingga serba tidak beraturan. Namun, kembali ke definisi kemiskinan itu sendiri yang tidak tunggal. Konsep dasar kemiskinan adalah tidak terpenuhinya berbagai bentuk hak-hak dasar manusia, termasuk lapangan pekerjaan dan tempat tinggal yang layak, bahkan termasuk pula hak menyatakan pendapat. Jadi ada juga kemiskinan untuk bisa berpendapat, yang ukurannya juga berbeda. Dengan demikian, berbagai bentuk kemiskinan itu bisa saja tersebar di berbagai bentuk tempat tinggal. Namun yang jelas, jika kita menyoroti soal kumuh, kekumuhan perumahan dan permukiman itu sendiri adalah salah satu bentuk kemiskinan, yaitu akibat tidak terpenuhinya hak dasar tempat tinggal dan lingkungan permukiman yang layak.

Sebagai contoh, jika ada sebuah keluarga yang memiliki penghasilan yang “sebenarnya” (baca: relatif) mencukupi untuk mendapatkan rumah yang lebih baik, namun lebih memilih tinggal sebuah rumah yang kurang memenuhi syarat-syarat kesehatan, yang berada di permukiman kumuh dan padat, maka keluarga ini tetap dikatakan miskin dari sisi pemenuhan tempat tinggal yang layak. Keluarga pas-pasan seperti ini masih menganggap bisa menekan pengeluaran untuk biaya menyewa rumah, meskipun akhirnya keluarga ini memilih tempat tinggal yang kurang ruangan atau jendelanya. Maka yang jadi persoalan adalah, mengapa dengan harga yang mereka “sanggup” keluarkan itu, hanya bisa mendapatkan rumah yang tidak layak huni di lokasi yang mereka inginkan? Persoalan ada di sisi pasokan, yaitu sangat kurangnya pilihan-pilihan rumah yang layak huni pada harga yang mampu mereka jangkau.

Tantangannya kemudian adalah pertama, bagaimana sisi penyediaan perumahan bisa menjamin tidak boleh ada satupun rumah yang tidak memenuhi syarat kelayakan. Tantangan berikutnya adalah, bagaimana sisi penyediaan memastikan rumah layak huni berada pada harga yang terjangkau. Jika pelaku-pelaku di sisi penyediaan bisa saja berasal dari pengembang swasta, masyarakat maupun pemerintah, maka tetap pemerintahlah yang bertanggung-jawab untuk memberdayakan semua pihak tersebut dalam rangka menjamin penyediaan rumah-rumah layak huni pada berbagai tingkatan harga yang terjangkau.

Kembali ke persoalan kekumuhan dan kemiskinan, kesimpulannya, kekumuhan dan kemiskinan sama-sama diakibatkan belum terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat. Dengan demikian, kesepakatan global mengenai hak dasar perumahan bagi setiap penduduk menjadi landasan bagi penggunaan pendekatan berbasis hak-dasar (right-based approach) di dalam penyediaan perumahan dan permukiman bagi semua penduduk, termasuk dalam menerapkan prinsip jaminan bermukim (secure tenure).
 
4.      Kumuh dan Urbanisasi.

Urbanisasi umunya dipandang oleh kalangan pemerintah sebagai penyebab munculnya permukiman kumuh. Pandangan ini kembali melemparkan biang permasalahan pada urusan yang tak jelas siapa penanggung-jawabnya. Apakah memang demikian letak masalahnya? Berbagai literatur dan dokumen badan-badan dunia sudah menggarisbawahi, bahwa pada dasarnya urbanisasi merupakan proses yang alamiah dan menjadi fenomena global di berbagai negara. Lebih jauh, ada faktor penarik dan ada faktor pendorongnya. Bagaimanapun, daya tarik kota masih lebih kuat sebagai faktor penggerak urbanisasi dibanding daya dorong di pedesaan.

Dengan demikian, permukiman kumuh bukanlah fenomena yang diakibatkan oleh urbanisasi, melainkan disebabkan oleh pengelolaan urbanisasi yang belum efektif dan berkelanjutan. Lebih jauh, tantangan yang dihadapi adalah pertumbuhan kota yang cepat namun belum mampu diimbangi oleh kapasitas yang memadai dalam pengelolaannya. Proses urbanisasi yang cepat memiliki tantangan yang terkait dengan menurunnya kualitas ruang kota.

5.      Kota-kota Bebas Kumuh

Masih ada pertanyaan yang meragukan, apakah mungkin dicapai kondisi kota-kota bebas kumuh? Jika target RPJP 2025 bebas kumuh bahkan kini ditargetkan oleh Presiden agar bebas kumuh bisa dicapai tahun 2020, apakah ini target yang realistis? Ada yang menyatakan pesimismenya atau menyebutnya sebagai mission impossible.

Mari kembali kita pikirkan, dengan kembali melihat rumusan persoalan nomor empat di atas, yaitu bahwa jika kita bersepakat dan melihat akar masalahnya pada persoalan tata-kelola urbanisasi, maka tantangan ini adalah sesuatu yang terukur dan bisa dikelola. Artinya, jika kita melakukan reformasi secara berarti, reformasi secara progresif, maka tujuan tersebut bukan hal yang tidak mungkin dicapai. Artinya, mission impossible memang hanya bisa dijalankan oleh tim dan sistim yang tangguh. Di sini memang diperlukan komitmen yang tinggi untuk mencapai target yang tidak gampang tersebut.

Melalui pemahaman yang lebih utuh, evaluasi dan perumusan pendekatan dan strategi yang lebih efektif, dan dengan mengacu pada kesepakatan dan agenda global, mulai dari Habitat Agenda, Universal Declaration of Human Rights, hingga kesepakatan Rio+20: The Future We Want, pada Juni 2012, serta Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP 2005-2025) di Indonesia, maka pencapaian menuju kota-kota bebas kumuh di Indonesia pada tahun 2020 bukan sebatas kesepakatan kosong untuk tujuan pencitraan saja.

Dari pengalaman di negara-negara maju, kota-kota tanpa kumuh dapat dicapai melalui pengelolaan urbanisasi yang berkelanjutan, yaitu pada suatu keadaan dimana kota-kota sudah mencapai tahapan stabilitas urbanisasi (urbanization stability) sebagaimana kota-kota di negara-negara maju, meskipun kota-kota maju tersebut terus berupaya meningkatkan keberlanjutannya. Singkat kata, kota-kota tanpa kumuh adalah kota-kota yang berkelanjutan, yang artinya juga adalah kota-kota untuk semua (kota-kota inklusif atau kota-kota terbuka).

Demikianlah, sebagai kesimpulan, pertama-tama, kiranya kelima butir persoalan terkait permukiman kumuh dan penanganannya ini dapat disepakati oleh para pihak, baik dari kalangan pemerintah, akademisi, lembaga masyarakat, dan para pelaku terkait lainnya.

9 (Sembilan) Agenda Aksi Menuju Kota-kota Bebas Kumuh

Target mencapai kota-kota tanpa perumahan dan permukiman kumuh adalah sesuatu yang realistis, jika dan hanya jika, kita mampu menurunkannya ke dalam langkah-langkah aksi (peta jalan) yang dijadikan komitmen yang tinggi untuk dijalankan bersama-sama, dengan kerja keras dan bersungguh-sungguh.

Agenda pertama adalah dengan menyepakati penggunaan Pendekatan Hak Dasar dan Pendekatan Skala Kota sebagai landasan arah kebijakan penanganan kumuh di perkotaan. Pendekatan Hak-Dasar (right-based approach) adalah pengakuan adanya Hak Dasar Perumahan (housing right). Sedangkan Pendekatan Skala Kota (city-wide approach) adalah melalui penerapan keterpaduan pembangunan kota dan wilayah. Kesepakatan ini perlu menjadi komitmen politik dari para pemimpin dan lembaga pemerintah, baik di tingkat nasional maupun kota, untuk selanjutnya dijadikan landasan pelaksanaan agenda-agenda selanjutnya.

Agenda kedua, merumuskan kerangka kebijakan dan strategi, kerangka kelembagaan, kerangka peraturan dan kerangka pelaksanaan program-program pembangunan kota yang mendukung penerapan Pendekatan Terpadu Skala Kota. Pembuatan kerangka dan sistem yang baru ini tidak dapat dijalankan di dalam ruang vakum, melainkan perlu dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang partisipatif, seiring sejalan dengan evaluasi sistem yang sudah ada dan pengembangan kapasitas untuk mendukung sistem yang baru.

Agenda ketiga, seiring sejalan pula, dengan berlandaskan pada kedua pendekatan di atas, perlu dilakukan evaluasi terhadap kebijakan perumahan maupun kebijakan pembangunan kota, meliputi proses pembuatan kebijakan, perencanaan, kajian kebutuhan, kajian persediaan rumah, kerangka peraturan, kapasitas dan sistem kelembagaan, maupun sistem pembiayaannya. Hasilnya adalah diidentifikasinya berbagai kendala-kendala peraturan, kelembagaan dan mekanisme pembuatan program, untuk kemudian dibangun komitmen untuk menghilangkan semua kendala ini dan menggantikannya dengan sistem yang baru seperti pada butir ke dua di atas.

Agenda keempat, sejalan dengan itu pula, melakukan berbagai program pengembangan kapasitas pengelolaan kota, terutama di bidang infrastruktur, perumahan dan permukiman kota, dan secara tidak langsung di bidang-bidang lainnya. Tujuannya pertama, adalah untuk mencapai kesepahaman politik dan kebijakan terhadap penanganan kumuh dan pembangunan perumahan dan perkotaan. Selanjutnya, kesamaan pemahaman ini perlu diikuti dengan serangkaian kegiatan pengembangan kapasitas dan pembinaan, baik di kalangan pemerintah maupun berbagai kalangan di masyarakat.

Agenda kelima, Menyusun Strategi Pembangunan Kota (SPK) yang berisi program-program prioritas dan terpadu yang berfokus kepada peningkatan kondisi kehidupan dari kelompok miskin dan berpendapatan rendah di perkotaan. Di dalam kerangka SPK, keterpaduan yang hendak dicapai meliputi: penyediaan infrastruktur dan fasilitas kota yang berkeadilan, penataan ruang yang berwawasan lingkungan, pola kegiatan yang berfokus pada regenerasi ruang kota dan pengembangan area-area baru (termasuk perbaikan kampung-kampung kota), pembukaan area bisnis terpadu dan penyediaan lapangan kerja baru, dan pengembangan program-program sosial-budaya masyarakat.

Agenda keenam, mengembangkan sistem penyediaan perumahan dan permukiman swadaya melalui pengembangan sistem kelembagaan jejaring komunitas, kelembagaan pemberdaya, pembuatan instrumen-instrumen dan program kegiatan percontohan yang menggunakan konsep bertumpu pada pemberdayaan komunitas, yang tentunya semuanya mendukung penerapan Pendekatan Hak Dasar di atas.

Agenda ketujuh, prioritisasi program-program terpadu yang menyentuh kawasan kumuh yang paling buruk, dengan angka kematian dan penyakit paling tinggi, tingkat ketiadaan prasarana dan sanitasi paling rendah dan tingkat ketidak-amanan bermukim paling tinggi (squatter).

Agenda kedelapan, komitmen penuh untuk prioritisasi investasi kota pada penyediaan pelayanan dasar umum yang menjangkau permukiman penduduk golongan miskin dan bependapatan rendah di kota, seperti: air minum, sanitasi, energi listrik, prasarana jalan dan drainase, penyediaan perumahan sosial, perumahan umum, fasos-fasum.

Agenda kesembilan, Manajemen pengetahuan tentang perumahan dan permukiman  kumuh di perkotaan. Dalam rangka penanganan kumuh, diperlukan upaya memahami dan mengenali karakteristik fisik-spasial kumuh perkotaan dalam konteks pengelolaan pembangunan kota, dan diperlukan pula upaya memahami dan mengenali karakteristik sosial-ekonomi kumuh perkotaan. Untuk itu diperkukan berbagai bentuk kegiatan pembelajaran dan pengelolaan pengetahuan (knowledge management) terkait permasalahan kumuh ini, untuk memperoleh pengetahuan yang memadai sebagai landasan pembuatan kebijakan yang lebih efektif di dalam penerapannya

Sebagai kesimpulan, melalui kerja keras dan upaya yang sungguh-sungguh untuk menjalankan langkah-langkah aksi tersebut, niscaya target untuk mencapai kota-kota bebas kumuh bukanlah sesuatu yang mustahil dapat kita wujudkan. Dengan demikian dapat kita harapkan pembangunan kota maupun pembangunan kota-kota di dalam suatu wilayah, dapat dijalankan melalui perencanaan dan langkah-langkah yang sistematis dan terpadu, sehingga menghasilkan pembangunan kota yang berkelanjutan secara sosial, ekonomi dan lingkungan.
 

Salam dan terima kasih atas perhatiannya.
 

     1 Oktober 2012, Disampaikan pada Seminar Peringatan Hari Habitat Dunia,
     Hotel Millenium, Jakarta.
 
Ir. Moh. Jehansyah Siregar, MT., Ph.D, Dosen Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK), Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman (KKPP), Institut Teknologi Bandung (ITB),

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda