Kamis, 24 Maret 2011

Pemerintah Belum Pastikan Lokasi Rumah Murah

Kebijakan Perumahan
Pemerintah Belum Pastikan Lokasi Rumah Murah
Senin, 7 Maret 2011 | 14:52 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Masyarakat menengah bawah yang berencana membeli rumah murah dengan harga Rp 20 Juta - 25 Juta, rupanya harus bersabar. Ini lantaran kepastian lokasi penyediaan rumah murah ini masih dalam pembahasan.
Program rumah murah ini akan dibangun di Jawa maupun luar Jawa. Kami memerlukan komitmen pemerintah daerah (pemda) dalam mendukung program ini, misalnya tentang BPHTB, sertifikasi, biaya perizinan dan lainnya.
-- Paul Manurung
"Mengenai kepastian lokasinya rumah murah ini, kami masih menyusun dan menjajaki beberapa daerah," ujar Paul Manurung, Deputi Bidang Perumahan Formal Kementerian Perumahan Rakyat saat dihubungi Kompas.com di Jakarta, Senin (7/3/2011).
Menurut Paul, program rumah murah ini akan dibangun di Jawa maupun luar Jawa. "Kami memerlukan komitmen pemerintah daerah (pemda) dalam mendukung program ini, misalnya tentang BPHTB, sertifikasi, biaya perizinan dan lainnya," ujarnya.
Beberapa lokasi yang sudah didukung oleh pemerintah daerah untuk penyediaan rumah murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, kata Paul, seperti Sumatera Utara, Jawa Tengah, Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Timur (NTT). "Daerah-daerah ini pemdanya sudah mendukung program. Kami mengharap diikuti pemda lainnya," jelasnya.
Mengenai kemungkinan penyediaan rumah murah yang berlokasi di Jakarta notabene sebagai pusat kota dan pusat bisnis, Paul mengatakan akan sulit menyediakan rumah murah di Jakarta. "Kita lihat saja tanah semakin sempit dan mahal, sulit kemungkinannya kalau di Jakarta," ujarnya.
Menurutnya, penyediaan rumah murah di sekitaran Jakarta masih bisa dilakukan seperti di Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. "Ini mungkin di kabupatennya, kami tetap mengusahakan yang ada akses supportingnya seperti infrastruktur," jelasnya. (Natalia Ririh)

JEHAN:
Jika perumahan murah dibangun di lokasi yg jauh maka kecil kemungkinan keluarga2 permukiman kumuh informal bersedia direlokasi. Akibatnya, akan dihuni oleh para pendatang baru. Sedangkan permukiman kumuh tidak berkurang. Pemerintah hendaknya tidak membuat pernyataan tanah itu sulit, karena memiliki kewenangan yg luas, apalagi di bawah Janji Presiden. Untuk itu pemerintah perlu mengembangkan pola penyediaan perumahan berbasis komunitas, dengan memanfaatkan lahan2 BUMN spt Pertamina, Pelindo, Bulog, Kemayoran, Perumnas di Ckg, dlsb. Perumahan murah dapat dibangun dg skema hunian campuran berkepadatan tinggi.
Yang sudah harus dipastikan adalah lokasinya di 7 kota metropolitan dan sekitarnya, yaitu Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Semarang, Palembang dan Makassar. Sasarannya adalah pengentasan permukiman kumuh dan informal perkotaan yang tumbuh akibat manajemen kota yang seperti pepesan kosong. Ini paket perumahan dan pembangunan kota (HUD) yang terpadu. Jadi lokasinya bukan di kawasan permukiman nelayan atau pertanian atau perkebunan, yang mana bisa dikembangkan melalui paket sektoral lainnya.
------------------------------------------------------------------------
Kebijakan Perumahan
Mungkinkah Membangun Rumah Murah di Dalam Kota Jakarta?
Senin, 7 Maret 2011 | 15:41 WIB
http://properti.kompas.com/read/2011/03/07/15413141/Mungkinkah.Membangun.Rumah.Murah.di.Dalam.Kota.Jakarta.
JAKARTA, KOMPAS.com - Bersaing dengan gedung-gedung megah dan mewah di kota Megapolitan Jakarta, pembangunan rumah murah disangsikan keberadaannya. Dari lahan sempit sampai nilai estetika menjadi pemicunya.
Lokasi rumah murah sedang dalam penjajakan dan penyusunan. Untuk di Jakarta mungkin susah karena lahan sudah sulit diperoleh. Lalu tanah BUMN juga untuk karyawannya yang menengah ke bawah. Mungkin di sekitaran Jakarta, seperti Bogor, Depok Tangerang
"Lokasi rumah murah sedang dalam penjajakan dan penyusunan. Untuk di Jakarta mungkin susah karena lahan sudah sulit diperoleh. Lalu tanah BUMN juga untuk karyawannya yang menengah ke bawah. Mungkin di sekitaran Jakarta, seperti Bogor, Depok Tangerang dan Bekasi lokasinya," kata Paul Marpaung, Deputi Bidang Perumahan Formal Kementerian Perumahan Rakyat di Jakarta, Senin (7/3/2011).
Namun, menurut Eddy Ganefo, Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), menyediakan rumah murah di Jakarta bisa saja dilakukan. "Lokasi di Jakarta kenapa tidak mungkin. Bisa saja rumah murah di Jakarta, tapi tergantung bagaimana pemdanya? Mau tidak pemda memberikan izin tersebut? Nanti alasannya merusak nilai-nilai estetika kota," katanya saat dihubungi pada pekan lalu.
Eddy menambahkan perlunya intervensi pemerintah pusat yang menginstruksikan kepada pemerintah daerah di tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota untuk mendukung kebijakan ini.
Sementara menurut Ali Hanafia, pengamat properti, lokasi rumah murah di Jakarta bisa saja dibangun dengan melihat sasaran yang tepat. "Bisa saja dibangun di dekat stasiun kereta api, dekat terminal bis, atau tempat-tempat yang memiliki tenaga kerja MBR banyak," papar Ali.
Ali mengatakan selain menyediakan rumah murah, pemerintah harus terus mensosialisasikan pentingnya tinggal di rumah. "Pemetaan dan sosialisasi ini penting juga dilakukan. Jangan hanya membangun rumah murah, tapi juga memberikan pengarahan pentingnya tinggal di dalam rumah layak, bukan di pinggiran kali atau bawah jembatan," terang Ali. (Natalia Ririh)

JEHAN: Sekali lagi sistem penyediaan yang menentukan, bukan pembiaran pasar liberal spt sekarang. Dari pengalaman CODI (Community Org Dev Institute) di Thailand, ini lembaga setingkat Kementerian di bawah Wakil PM, perumahan murah dibangun di lahan2 BUMN yg diserobot atau tak terpakai. Peran CODI adalah pemberdaya, penjamin dan negosiator dari komunitas kumuh berhadapan dengan BUMN-BUMN untuk memperoleh hak sewa jk panjang. Komunitas terorganisir diberi hak sewa/pakai jangka panjang, shg aset negara tidak bocor ke pasar.
---------------------------------------------------------
Rumah Murah
Apersi Berani Tawarkan Rumah Murah Harga Rp 21 Juta
Jumat, 4 Maret 2011 | 20:37 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), Eddy Ganefo mengatakan pihaknya berani menawarkan harga rumah murah lebih rendah menjadi Rp 21 Juta - Rp 22 Juta.
Menurut Eddy, pihaknya mampu memberikan spesifikasi harga lebih murah dari program Kemenpera di kisaran harga Rp 25 Juta. "Kami menyebutnya Rumah Kuntum, ibarat bunga yang belum mekar," katanya saat dihubungi Kompas.com di Jakarta, Jumat (4/3/2011) petang.
Nah, bagaimana komposisi rumah seharga Rp 21-22 juta ini? Eddy memaparkan atap rumah dibuat dari seng, rangkanya dari kayu, dindingnya dari batako, lantai floor, ada jendela, pintu, dan jamban, namun tidak ada plafonnya.
"Ini ukurannya 36 meter persegi, bisa dimekarkan oleh pemiliknya. Setelah memutuskan untuk kredit nanti kami akan memberikan pelatihan bagaimana mengerjakan sendiri ruang-ruang di dalam rumah ini," jelas Eddy.
Dari segi kesehatan, Eddy mengatakan rumah kuntum ini memenuhi unsur-unsur kesehatan. Dimana dinding dari batako dan atap dari seng dibuat rapi sehingga angin tidak tembus ke dalam rumah. "Segi kesehatannya sudah memenuhi, hanya saja dari sisi penglihatannya saja yang harus ditata lagi," jelasnya.
Berani menawarkan rumah dengan harga lebih murah, Eddy mengatakan tetap ada syaratnya. "Kami meminta pemerintah menyediakan lahan, pembangunan infrastruktur, pembangunan fasilitas umum, dan mempermudah perizinan. Harga ini untuk bangunan fisiknya saja," kata Eddy. (Natalia Ririh)
JEHAN: Tepatnya, pembangunan rumah murah diselenggarakan di dalam  mekanisme perumahan publik yang dipimpin oleh public housing corporation (BUMN Perumnas reformasi). Para pengembang yang tergabung di dalam Apersi dikoordinir oleh Perumnas sebagai "registered public housing developers under public housing management". Benar sekali, lahan, infrastruktur, dan fasos-fasum bukan lagi menjadi tg jawab registered developers". Bahkan perijinan tidak perlu dipusingkan di bawah manajemen pengembang publik.
---------------------------------------------------------
Kebijakan Perumahan
Komitmen Pemda Sediakan Rumah Murah Dipertanyakan
Jumat, 4 Maret 2011 | 13:52 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Sulitnya membangun permukiman bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), ditengarai karena komitmen yang tidak dimiliki Pemerintah Daerah (Pemda). Padahal, dalam Undang-undang Perumahan dan Permukiman (UU PKP) pasal 105, disebutkan tanggung jawab ketersediaan lahan dan rencana tata ruang berada di pundak Pemda
Dalam UU PKP itu didasarkan kepada tanggung jawabnya Pemda, tapi kalau Pemdanya tidak memiliki komitmen membangun permukiman dan penataan ruang, maka kawasan permukiman terutama untuk masyarakat berpenghasilan rendah tidak akan terwujud.
"Dalam UU PKP itu didasarkan kepada tanggung jawabnya Pemda, tapi kalau Pemdanya tidak memiliki komitmen membangun permukiman dan penataan ruang, maka kawasan permukiman terutama untuk masyarakat berpenghasilan rendah tidak akan terwujud," kata Hari Ganie, Ketua Bidang Perkotaan dan Permukiman Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) kepada wartawan di Jakarta, Kamis.
Hari menyebutkan apabila kewenangan Pemda dalam UU PKP ini tak dijalankan, maka akan mengulang kegagalan Undang-undang Penataan Ruang tahun 2007. "Jangan sampai pembangunan dilakukan pada wilayah yang bukan peruntukannya. Ini kontra produktif terhadap kaidah perencanaan wilayah dan perkotaan nasional kita," ujarnya.
Untuk mengatasi kurangnya pasokan penyediaan rumah atau backlog, kata Hari, harus menyelesaikan masalahnya di hulu. Seperti ketersediaan lahan, infrastruktur, biaya dan kemudahan perijinan, dan biaya PBB (Pajak Bumi dan Bangunan). "Menyelesaikan masalah permukiman harus menyatukan tata ruangnya. Pemerintah Daerah dengan segala kapasitasnya harus peduli tentang hal ini," ujarnya.
Zulfi Syarif Koto, pengamat dari Housing and Urban Development (HUD) dalam bukunya berjudul Politik Pembangunan Rakyat di Era Reformasi menyebutkan, pemerintah terutama Pemda wajib memberikan perhatian penuh terhadap penyediaan tanah, yang diperlukan bagi penyelenggaraan pembangunan perumahan khususnya Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Zulfi menyebutkan, ke depan agar muncul terobosan pemikiran yang tetap mengacu perundangan dan berdasar tata ruang (RTRW) yang sah, membentuk regulasi yang mempermudah MBR ke bawah dalam memperoleh atau menjangkau rumah layak. (Natalia Ririh)
JEHAN:
Mengapa sulit sekali menagih komitmen Pemda? Adakah Pemda yang mendukung pasal 105 UU-PKP ketika penyusunannya tahun lalu? Atau sebenarnya tidak sesederhana itu, artinya ada delivery system yang harus dikembangkan dan dicontohkan kepada daerah? Jika tidak, berarti pasal 105 ini hanya sepihak untuk membebani Pemda dan terlalu menyederhanakan persoalan pengadaan tanah untuk perumahan rakyat.
Jangan sampai terkesan melempar tanggung jawab pengadaan tanah yang sulit. Pemerintah perlu mengembangkan mekanisme perumahan publik untuk kemudian menjadi contoh bagi daerah. UU-PKP seharusnya menjamin tegaknya mekanisme housing delivery ini, bukan berisi pasal-pasal pembebanan daerah. Daerah akan kebingungan, apakah harus melakukan pembelian tanah melalui panitia 9 misalnya? Di Jepang dan Korea pengadaan tanah perumahan dikembangkan oleh "Perumnas" di sana, yaitu URA dan KNHC, terutama di kota2 metropolitan saja. Karena itu Pemerintah pusat harus memiliki model bank tanah skala besar melalui Perumnas setidaknya

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda