Minggu, 27 Maret 2011

Pengadaan Tanah untuk Perumahan Rakyat Perlu Mekanisme yang tepat


Bapak Menteri Perumahan Rakyat masih saja terus menghimbau agar Pemda segera menyediakan tanah untuk perumahan rakyat. Bahkan pemerintah daerah dituding menomor-duakan sektor perumahan dan lebih mengutamakan fasilitas utama daerah ketimbang pembangunan perumahan (Kompas.com, 23 Maret). Himbauan seperti ini sebenarnya sudah dilakukan sejak periode-periode sebelumnya, namun tidak kunjung efektif menggerakkan pemda untuk bisa melaksanakannya.
Sebenarnya bisa dipahami mengapa pemerintah daerah kesulitan dalam penyediaan lahan perumahan bagi rakyat. Masalahnya adalah mekanisme penyediaan perumahannya seperti apa? Himbauan-himbauan Pak Menteri itu mengarah pada mekanisme alokasi APBD untuk pembelian tanah melalui proyek/panitia pembelian tanah. Mekanisme ini hanya sesuai untuk pengadaan tanah skala kecil untuk keperluan fasilitas kota maupun keperluan sektor (dinas-dinas). Dengan mekanisme proyek/panitia pembelian tanah ini memang masih bisa diperoleh tanah di kota, tapi ukurannya kecil, sekitar 1000 m2 - 5000 m2. Sedangkan tanah untuk perumahan rakyat skalanya besar dan satuannya bukan meter persegi tapi hektar!
Jadi, mekanisme pembelian tanah melalui APBD jelas tidak sesuai untuk pengadaan tanah perumahan rakyat. Selain tidak sesuai ukuran dan bentuknya untuk tanah  perumahan, juga tidak sesuai dengan kapasitas APBD Pemda yang masih kesulitan untuk membiayai prasarana dan fasilitas kota lainnya.
Beberapa kasus pembangunan Rusunawa sudah terjadi seperti itu, yaitu menggunakan tanah-tanah ukuran kecil. Di beberapa kasus di atas tanah ukuran 3.500 m2 pun dipaksakan dibangun Rusunawa. Karena tidak cukup, terpaksa dibangun setengah twin-blok. Ini mekanisme pengadaan tanah perumahan yang tidak tepat. Pembangunan Rusunawa dengan cara begini mengakibatkan kekacauan penataan ruang dan perencanaan prasarana dan fasilitas kota akibat konsentrasi yang menyebar kecil-kecil (scattered). Apakah untuk melayani setengah twin-blok harus disediakan halte bis, pasar, puskesmas dan sekolah dasar, misalnya?Akhirnya pola seperti ini membebani daya dukung prasarana dan fasilitas lingkungan yang tidak memadai.
Kesimpulannya, Pemerintah Pusat perlu memberi contoh pengadaan tanah untuk perumahan rakyat, terutama melalui public housing delivery system yang hanya bisa dikelola lembaga berbentuk korporasi publik dan bersifat dedicated authority. Belajar dari HDB, BUMN perumahan di Singapura, di dalam undang-undangnya disebut There is hereby established a body to be known as the Housing and Development Board which is a body corporate and has perpetual succession and may sue and be sued in its corporate name.
Di dalam prakteknya, lahan yang dipilih adalah lahan yang belum terapresiasi oleh prasarana dan fasilitas kota. Artinya ini lahan di luar atau di pinggir kota. Pemerintah merencanakan dan menyiapkan lahan untuk permukiman skala besar dan dilengkapi dengan berbagai prasarana dan fasilitas. Ini pekerjaan besar yang hanya bisa dikelola melalui mekanisme korporasi publik.
Kapasitas sebagian besar Pemda/Pemko tidak mampu melaksanakan mekanisme ini, kecuali kota-kota metropolitan seperti Pemda DKI Jakarta dan Surabaya. Pemerintah di negara lain mencontohkannya lebih dulu melalui BUMN Perumahan, baru kemudian diikuti dan didukung BUMD Perumahan.
Cukup mengherankan juga, mengapa Kempera begitu enggan untuk memperkuat BUMN perumahan seperti Perumnas. Jangan sampai hanya karena tidak ingin dikelola BUMN dan BUMD, maka dipaksakan juga menggunakan APBN (FLPP dan Rusunawa) dan APBD (dengan cara menghimbau-himbau Pemda inilah).
Hendaknya urusan perumahan ini tidak dijalankan dengan insting dan common sense saja. Karena ada konsep mekanismenya, yaitu yang disebut multi moda housing delivery system. Perlu diperhatikan, bahwa pasal 2 PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan menyebutkan masih adanya kewajiban Pemerintah pusat dalam urusan perumahan rakyat! Yaitu melalui urusan pemerintahan yang dibagi bersama. Di sinilah letak tanggung jawab Pemerintah pusat untuk mengembangkan kapasitas, mengembangkan model penanganan dan membangun sistem penyediaan perumahan yang baik.
Salam,
Jehan

Pembelian Cadangan Lahan Perumahan Sebaiknya Dilakukan Lembaga Khusus

Property

Sunday, 27 03 2011
More in Property

BY MUHAMMAD RINALDI

JAKARTA (IFT) – Imbauan agar setiap pemerintah daerah menyediakan cadangan lahan (land bank) untuk pembangunan perumahan dengan menggunakan dana Anggaran Pemasukan dan Belanja Daerah dinilai sejumlah pengamat tidak sesuai dengan kapasitas anggaran daerah yang minim. Mekanisme pembelian sebaiknya diserahkan kepada lembaga khusus dengan alokasi anggaran yang disiapkan pemerintah pusat.

Jehansyah Siregar, Pengamat Permukiman dari Institut Teknologi Bandung (ITB) mengungkapkan kapasitas anggaran daerah sulit diandalkan karena untuk membiayai gaji pegawai, pengadaan sarana dan fasilitas daerah saja masih kekurangan.

“Imbauan Menteri Perumahan Rakyat itu mengarah pada mekanisme alokasi APBD untuk pembelian tanah melalui proyek atau panitia pembelian tanah. Mekanisme ini hanya sesuai untuk pengadaan tanah skala kecil untuk keperluan fasilitas kota, tidak sesuai jika yang dituju adalah menghimpun lahan dalam skala besar,” tegasnya di Jakarta, Jumat.

Menurut dia, pemerintah pusat perlu memberi contoh pengadaan tanah untuk perumahan dengan model public housing delivery system yang hanya bisa dikelola lembaga berbentuk korporasi publik. Semisal Housing Development Board, BUMN perumahan di Singapura yang bertugas menghimpun dan mengalokasikan lahan bagi keperluan pembangunan perumahan.

Upaya menghimpun cadangan lahan dalam skala besar juga tidak dapat dilakukan pada lahan-lahan di tengah kota. Dalam prakteknya di Singapura, lahan yang dipilih merupakan tanah yang lokasinya belum tersentuh fasilitas kota. Artinya lahan-lahan di pinggir kota.

Ali Tranghanda, Direktur Ekseskutif Indonesia Property Watch sepakat jika upaya menghimpun cadangan lahan untuk perumahan dilakukan satu lembaga khusus yang tugasnya membuat perencanaan, pembelian, distribusi dan operasional seperti Badan Penyehatan Perbankan Nasional atau Perusahaan Pengelolaan Aset.

“Cadangan lahan ini sebaiknya diserahkan kepada perusahaan yang bersifat otonomi. Untuk di perkotaan, bisa dihimpun lahan-lahan milik BUMN yang belum dimanfaatkan maksimal,” katanya, Jumat.

Dia menilai fokus pengelolaan cadangan lahan di daerah akan sulit. Selain karena anggaran terbatas, lemahnya kualitas sumber daya manusia di daerah juga dikhawatirkan membuat pengelolaan cadangan lahan tidak maksimal. Sebagai contoh banyak data land bank di daerah yang tidak terawasi dengan baik, sehingga banyak terjerat sengketa, lokasinya tidak jelas, bahkan ada yang sudah berpindah ke pihak ketiga.

Sementara itu, Djan Faridz, Anggota Dewan Perwakilan Daerah menilai upaya menghimpun land bank untuk pembangunan perumahan terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebenarnya tidak sulit. Dia memberi contoh banyak gedung sekolah, pasar dan puskesmas yang kondisi fisiknya memprihatinkan karena tidak pernah direnovasi. Sebagian sarana itu berada di lokasi strategis di tengah kota.

“Kita mulai dari mudah saja, yang tidak butuh keluar anggaran. Pemerintah daerah bisa menggandeng developer swasta untuk membangun gedung sekolah, puskesmas atau pasar yang lebih bagus. Kompensasinya sebagian lahan dipakai untuk membangun apartemen menengah bawah,” katanya, Jumat.

Djan menilai banyak daerah kurang proaktif dalam menjalin kerja sama dengan swasta.  Dia memberi contoh di Jakarta, sebagian besar gedung sekolah di Jakarta sudah lama tidak diperbaiki. Kondisi itu jika terus dibiarkan tidak hanya menurunkan mutu pendidikan, tapi juga membahayakan keselamatan siswa. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebenarnya bisa menggandeng pengembang untuk merenovasi sekolah-sekolah tersebut asal diizinkan membangun permukiman vertikal di sebagian lahan sekolah itu.

“Pemerintah tidak rugi karena sarana daerah menjadi lebih baik, dan sekaligus berhasil menyediakan perumahan bagi rakyatnya,” ujarnya. (*)

-----------------------------------------
indonesiafinancetoday.com/read/5223/Pembelian-Cadangan-Lahan-Perumahan-Sebaiknya-Dilakukan-Lembaga-Khusus

-----------------------------------------

Kamis, 24 Maret 2011

Pemerintah Belum Pastikan Lokasi Rumah Murah

Kebijakan Perumahan
Pemerintah Belum Pastikan Lokasi Rumah Murah
Senin, 7 Maret 2011 | 14:52 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Masyarakat menengah bawah yang berencana membeli rumah murah dengan harga Rp 20 Juta - 25 Juta, rupanya harus bersabar. Ini lantaran kepastian lokasi penyediaan rumah murah ini masih dalam pembahasan.
Program rumah murah ini akan dibangun di Jawa maupun luar Jawa. Kami memerlukan komitmen pemerintah daerah (pemda) dalam mendukung program ini, misalnya tentang BPHTB, sertifikasi, biaya perizinan dan lainnya.
-- Paul Manurung
"Mengenai kepastian lokasinya rumah murah ini, kami masih menyusun dan menjajaki beberapa daerah," ujar Paul Manurung, Deputi Bidang Perumahan Formal Kementerian Perumahan Rakyat saat dihubungi Kompas.com di Jakarta, Senin (7/3/2011).
Menurut Paul, program rumah murah ini akan dibangun di Jawa maupun luar Jawa. "Kami memerlukan komitmen pemerintah daerah (pemda) dalam mendukung program ini, misalnya tentang BPHTB, sertifikasi, biaya perizinan dan lainnya," ujarnya.
Beberapa lokasi yang sudah didukung oleh pemerintah daerah untuk penyediaan rumah murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, kata Paul, seperti Sumatera Utara, Jawa Tengah, Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Timur (NTT). "Daerah-daerah ini pemdanya sudah mendukung program. Kami mengharap diikuti pemda lainnya," jelasnya.
Mengenai kemungkinan penyediaan rumah murah yang berlokasi di Jakarta notabene sebagai pusat kota dan pusat bisnis, Paul mengatakan akan sulit menyediakan rumah murah di Jakarta. "Kita lihat saja tanah semakin sempit dan mahal, sulit kemungkinannya kalau di Jakarta," ujarnya.
Menurutnya, penyediaan rumah murah di sekitaran Jakarta masih bisa dilakukan seperti di Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. "Ini mungkin di kabupatennya, kami tetap mengusahakan yang ada akses supportingnya seperti infrastruktur," jelasnya. (Natalia Ririh)

JEHAN:
Jika perumahan murah dibangun di lokasi yg jauh maka kecil kemungkinan keluarga2 permukiman kumuh informal bersedia direlokasi. Akibatnya, akan dihuni oleh para pendatang baru. Sedangkan permukiman kumuh tidak berkurang. Pemerintah hendaknya tidak membuat pernyataan tanah itu sulit, karena memiliki kewenangan yg luas, apalagi di bawah Janji Presiden. Untuk itu pemerintah perlu mengembangkan pola penyediaan perumahan berbasis komunitas, dengan memanfaatkan lahan2 BUMN spt Pertamina, Pelindo, Bulog, Kemayoran, Perumnas di Ckg, dlsb. Perumahan murah dapat dibangun dg skema hunian campuran berkepadatan tinggi.
Yang sudah harus dipastikan adalah lokasinya di 7 kota metropolitan dan sekitarnya, yaitu Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Semarang, Palembang dan Makassar. Sasarannya adalah pengentasan permukiman kumuh dan informal perkotaan yang tumbuh akibat manajemen kota yang seperti pepesan kosong. Ini paket perumahan dan pembangunan kota (HUD) yang terpadu. Jadi lokasinya bukan di kawasan permukiman nelayan atau pertanian atau perkebunan, yang mana bisa dikembangkan melalui paket sektoral lainnya.
------------------------------------------------------------------------
Kebijakan Perumahan
Mungkinkah Membangun Rumah Murah di Dalam Kota Jakarta?
Senin, 7 Maret 2011 | 15:41 WIB
http://properti.kompas.com/read/2011/03/07/15413141/Mungkinkah.Membangun.Rumah.Murah.di.Dalam.Kota.Jakarta.
JAKARTA, KOMPAS.com - Bersaing dengan gedung-gedung megah dan mewah di kota Megapolitan Jakarta, pembangunan rumah murah disangsikan keberadaannya. Dari lahan sempit sampai nilai estetika menjadi pemicunya.
Lokasi rumah murah sedang dalam penjajakan dan penyusunan. Untuk di Jakarta mungkin susah karena lahan sudah sulit diperoleh. Lalu tanah BUMN juga untuk karyawannya yang menengah ke bawah. Mungkin di sekitaran Jakarta, seperti Bogor, Depok Tangerang
"Lokasi rumah murah sedang dalam penjajakan dan penyusunan. Untuk di Jakarta mungkin susah karena lahan sudah sulit diperoleh. Lalu tanah BUMN juga untuk karyawannya yang menengah ke bawah. Mungkin di sekitaran Jakarta, seperti Bogor, Depok Tangerang dan Bekasi lokasinya," kata Paul Marpaung, Deputi Bidang Perumahan Formal Kementerian Perumahan Rakyat di Jakarta, Senin (7/3/2011).
Namun, menurut Eddy Ganefo, Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), menyediakan rumah murah di Jakarta bisa saja dilakukan. "Lokasi di Jakarta kenapa tidak mungkin. Bisa saja rumah murah di Jakarta, tapi tergantung bagaimana pemdanya? Mau tidak pemda memberikan izin tersebut? Nanti alasannya merusak nilai-nilai estetika kota," katanya saat dihubungi pada pekan lalu.
Eddy menambahkan perlunya intervensi pemerintah pusat yang menginstruksikan kepada pemerintah daerah di tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota untuk mendukung kebijakan ini.
Sementara menurut Ali Hanafia, pengamat properti, lokasi rumah murah di Jakarta bisa saja dibangun dengan melihat sasaran yang tepat. "Bisa saja dibangun di dekat stasiun kereta api, dekat terminal bis, atau tempat-tempat yang memiliki tenaga kerja MBR banyak," papar Ali.
Ali mengatakan selain menyediakan rumah murah, pemerintah harus terus mensosialisasikan pentingnya tinggal di rumah. "Pemetaan dan sosialisasi ini penting juga dilakukan. Jangan hanya membangun rumah murah, tapi juga memberikan pengarahan pentingnya tinggal di dalam rumah layak, bukan di pinggiran kali atau bawah jembatan," terang Ali. (Natalia Ririh)

JEHAN: Sekali lagi sistem penyediaan yang menentukan, bukan pembiaran pasar liberal spt sekarang. Dari pengalaman CODI (Community Org Dev Institute) di Thailand, ini lembaga setingkat Kementerian di bawah Wakil PM, perumahan murah dibangun di lahan2 BUMN yg diserobot atau tak terpakai. Peran CODI adalah pemberdaya, penjamin dan negosiator dari komunitas kumuh berhadapan dengan BUMN-BUMN untuk memperoleh hak sewa jk panjang. Komunitas terorganisir diberi hak sewa/pakai jangka panjang, shg aset negara tidak bocor ke pasar.
---------------------------------------------------------
Rumah Murah
Apersi Berani Tawarkan Rumah Murah Harga Rp 21 Juta
Jumat, 4 Maret 2011 | 20:37 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), Eddy Ganefo mengatakan pihaknya berani menawarkan harga rumah murah lebih rendah menjadi Rp 21 Juta - Rp 22 Juta.
Menurut Eddy, pihaknya mampu memberikan spesifikasi harga lebih murah dari program Kemenpera di kisaran harga Rp 25 Juta. "Kami menyebutnya Rumah Kuntum, ibarat bunga yang belum mekar," katanya saat dihubungi Kompas.com di Jakarta, Jumat (4/3/2011) petang.
Nah, bagaimana komposisi rumah seharga Rp 21-22 juta ini? Eddy memaparkan atap rumah dibuat dari seng, rangkanya dari kayu, dindingnya dari batako, lantai floor, ada jendela, pintu, dan jamban, namun tidak ada plafonnya.
"Ini ukurannya 36 meter persegi, bisa dimekarkan oleh pemiliknya. Setelah memutuskan untuk kredit nanti kami akan memberikan pelatihan bagaimana mengerjakan sendiri ruang-ruang di dalam rumah ini," jelas Eddy.
Dari segi kesehatan, Eddy mengatakan rumah kuntum ini memenuhi unsur-unsur kesehatan. Dimana dinding dari batako dan atap dari seng dibuat rapi sehingga angin tidak tembus ke dalam rumah. "Segi kesehatannya sudah memenuhi, hanya saja dari sisi penglihatannya saja yang harus ditata lagi," jelasnya.
Berani menawarkan rumah dengan harga lebih murah, Eddy mengatakan tetap ada syaratnya. "Kami meminta pemerintah menyediakan lahan, pembangunan infrastruktur, pembangunan fasilitas umum, dan mempermudah perizinan. Harga ini untuk bangunan fisiknya saja," kata Eddy. (Natalia Ririh)
JEHAN: Tepatnya, pembangunan rumah murah diselenggarakan di dalam  mekanisme perumahan publik yang dipimpin oleh public housing corporation (BUMN Perumnas reformasi). Para pengembang yang tergabung di dalam Apersi dikoordinir oleh Perumnas sebagai "registered public housing developers under public housing management". Benar sekali, lahan, infrastruktur, dan fasos-fasum bukan lagi menjadi tg jawab registered developers". Bahkan perijinan tidak perlu dipusingkan di bawah manajemen pengembang publik.
---------------------------------------------------------
Kebijakan Perumahan
Komitmen Pemda Sediakan Rumah Murah Dipertanyakan
Jumat, 4 Maret 2011 | 13:52 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Sulitnya membangun permukiman bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), ditengarai karena komitmen yang tidak dimiliki Pemerintah Daerah (Pemda). Padahal, dalam Undang-undang Perumahan dan Permukiman (UU PKP) pasal 105, disebutkan tanggung jawab ketersediaan lahan dan rencana tata ruang berada di pundak Pemda
Dalam UU PKP itu didasarkan kepada tanggung jawabnya Pemda, tapi kalau Pemdanya tidak memiliki komitmen membangun permukiman dan penataan ruang, maka kawasan permukiman terutama untuk masyarakat berpenghasilan rendah tidak akan terwujud.
"Dalam UU PKP itu didasarkan kepada tanggung jawabnya Pemda, tapi kalau Pemdanya tidak memiliki komitmen membangun permukiman dan penataan ruang, maka kawasan permukiman terutama untuk masyarakat berpenghasilan rendah tidak akan terwujud," kata Hari Ganie, Ketua Bidang Perkotaan dan Permukiman Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) kepada wartawan di Jakarta, Kamis.
Hari menyebutkan apabila kewenangan Pemda dalam UU PKP ini tak dijalankan, maka akan mengulang kegagalan Undang-undang Penataan Ruang tahun 2007. "Jangan sampai pembangunan dilakukan pada wilayah yang bukan peruntukannya. Ini kontra produktif terhadap kaidah perencanaan wilayah dan perkotaan nasional kita," ujarnya.
Untuk mengatasi kurangnya pasokan penyediaan rumah atau backlog, kata Hari, harus menyelesaikan masalahnya di hulu. Seperti ketersediaan lahan, infrastruktur, biaya dan kemudahan perijinan, dan biaya PBB (Pajak Bumi dan Bangunan). "Menyelesaikan masalah permukiman harus menyatukan tata ruangnya. Pemerintah Daerah dengan segala kapasitasnya harus peduli tentang hal ini," ujarnya.
Zulfi Syarif Koto, pengamat dari Housing and Urban Development (HUD) dalam bukunya berjudul Politik Pembangunan Rakyat di Era Reformasi menyebutkan, pemerintah terutama Pemda wajib memberikan perhatian penuh terhadap penyediaan tanah, yang diperlukan bagi penyelenggaraan pembangunan perumahan khususnya Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Zulfi menyebutkan, ke depan agar muncul terobosan pemikiran yang tetap mengacu perundangan dan berdasar tata ruang (RTRW) yang sah, membentuk regulasi yang mempermudah MBR ke bawah dalam memperoleh atau menjangkau rumah layak. (Natalia Ririh)
JEHAN:
Mengapa sulit sekali menagih komitmen Pemda? Adakah Pemda yang mendukung pasal 105 UU-PKP ketika penyusunannya tahun lalu? Atau sebenarnya tidak sesederhana itu, artinya ada delivery system yang harus dikembangkan dan dicontohkan kepada daerah? Jika tidak, berarti pasal 105 ini hanya sepihak untuk membebani Pemda dan terlalu menyederhanakan persoalan pengadaan tanah untuk perumahan rakyat.
Jangan sampai terkesan melempar tanggung jawab pengadaan tanah yang sulit. Pemerintah perlu mengembangkan mekanisme perumahan publik untuk kemudian menjadi contoh bagi daerah. UU-PKP seharusnya menjamin tegaknya mekanisme housing delivery ini, bukan berisi pasal-pasal pembebanan daerah. Daerah akan kebingungan, apakah harus melakukan pembelian tanah melalui panitia 9 misalnya? Di Jepang dan Korea pengadaan tanah perumahan dikembangkan oleh "Perumnas" di sana, yaitu URA dan KNHC, terutama di kota2 metropolitan saja. Karena itu Pemerintah pusat harus memiliki model bank tanah skala besar melalui Perumnas setidaknya

Negara Wajib Intervensi

Bisnis Indonesia

50 Pemda Berminat Bangun Rumah Supermurah

Investor Daily
Oleh Eko Adityo Nugroho

JAKARTA - Sejumlah pemerintah daerah (pemda) siap mendukung program rumah supermurah dengan menyediakan lahan untuk pembangunan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). "Setidaknya sekitar 50 kabupaten/kota telah siap menyediakan lahan untuk rumah murah masyarakat," ujar Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) Suharso Monoarfa seusai menghadiri rapat kerja antara Kemen-pera dan Komisi V DPR RI di Senayan, Jakarta, Rabu (16/3).

Menurut dia, sebanyak 50 kabupaten/kota yang telah menyatakan kesanggupan menyediakan lahan tersebar pada berbagai wilayah di Indonesia. Lahan-lahan yang dibebaskan dibeli pemda dengan harga murah. Pemda juga akan menggandeng sejumlah pengembangperumahan di daerah untuk membangun rumah murah tersebut "Banyak juga pemda yang telah membebaskan lahan dan menyediakan sendiri lahan-lahan yang masih ada untuk perumahan PNS di daerahnya ma-sing-masing," terangnya.

Suharso menambahkan, dirinya merasa gembira karena ada juga pemda di Pulau Jawa yang menyambut baik program rumah murah dengan harga Rp 20-25 juta dan rumah sangat murah Rp 5 -10 juta ini. Dirinya berharap hal ini bisa diikuti oleh pemda lainnya yang masih memiliki daerah yang cukup luas dan harga lahan yang relatif murah.

Beberapa waktu lalu, ungkapnya Suharso sempat melakukan kunjungan kerja ke sejumlah daerah di Jawa Timur, seperti Kota Malang dan Mojokerto. Pemerintah daerah terkait optimistis harga rumah murah bisadirealisasikan. "Mereka juga menyatakan program rumah murah dan rumah sangat murah bisa dibangun bahkan untuk rumah ukuran 36 meterpersegi," tandasnya.

Guna merealisasikan program rumah murah dan sangat murah di Jawa Timur, Suharso menuturkan, pemerintah akan memulainya dengan angka sekitar 6.000 unit rumah. Adapun, harga rumah yang dibangun sekitar Rp 20-25 juta.

Suharso optimistis, banyak pemda akan tertarik ikut serta dalam program ini, menyusul tingginya permintaan rumah masyarakat Pemerintah pusat segera mengucurkan dana pengembangan rumah setelah pemda berhasil menyediakan tanah.

Kemenpera menargetkan pembangunan 100.000 unit rumah murah dan sangat murah pada 2011. Sebanyak 100.000 unit rumah tersebut terbagi dalam dua bidang, yakni 50.000 unit rumah untuk masyarakat yang bankable dan 50.000 unit rumah untuk masyarakat yang non bankable. Namun demikian, hingga saat ini pihaknya masih membahas mengenai berapa anggaran yang akan dikucurkan untuk program ini.

Rumah murah dengan harga sekitar Rp 20-25 juta nantinya diperuntukkan untuk masyarakat yang memiliki pendapatan antara Rp 1,2-2 juta. Sedangkan rumah sangat murah yang har-ganya Rp 5-10 juta untuk masyarakat berpenghasilan kurang dari Rp 1,2 juta.

Kemenpera akan menggunakan program fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) untuk membantu pembiayaan perumahan bagi masyarakat Untuk memperoleh rumah murah ini masyarakat tidak perlu membayar uang muka. Sedangkan bunga KPR per tahun sekitar 5-6,42% dan porsi FLPP adalah 80-95%. "Masyarakat nantinya dapat mengangsur cicilan KPR per bulan hanya sekitar Rp 160.000 sampai Rp 220.000 saja," ujar dia.


Butuh Sistem

Dihubungi terpisah, pemerhati perumahan dari ITB Jehansyah Siregar mengungkapkan, beberapa isu terkait pembangunan rumah sangat murah dan penanganan daerah kumuh akhir-akhir ini menunjukkan bahwa kapasitas tata kelola perumahan yang ada sangat tidak memadai. Dia mencontohkan banyak kalangan menganggap program ini dengan pesimistis. Begitu pula soal rumah susun sederhana yang telantar dan penerapan aturan hunian berimbang yang sumir.

"Semuanya belum menemukan arah penanganan yang efektif. Bahkan percepatan pembangunan perumahan pun masih diartikan sangat sederhana sebagai kemudahan perizinan oleh pemda-pemda," tuturnya.

Menurut dia, akar masalah penyediaan rumah di Tanah Air adalah absennya sistem penyediaan perumahan (housing delivery system). Sistem ini harus dibuat pemerintah agar penyediaan perumahan bagi masyarakat teratur dan tepat sasaran.

"Namun membangun sistem penyediaan perumahan itu bukan perkara mudah. Diperlukan kerangka regulasi yang jelas dan rinci, sistem kelembagaan yang tepat, kapasitas sistem yang memadai, dan model penanganan yang teruji, melembaga dan berkelanjutan," jelas Jehansyah. (hut)

http://bataviase.co.id/node/606507

Pemerintah dinilai lepas tangan soal lahan

bisnis.com/infrastruktur/properti/15266-pemerintah-dinilai-lepas-tangan-soal-lahan

JAKARTA: Pemerintah pusat dinilai seakan-akan melempar tanggung jawab kepada daerah soal penyediaan tanah bagi perumahan rakyat dengan berlindung di balik UU No. 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP).

Dengan adanya UU tersebut, beberapa pihak seperti Kementerian Perumahan Rakyat menempatkan pemerintah daerah paling bertanggung-jawab dalam pengadaan tanah untuk rumah murah.

Ukuran ini bahkan dijadikan tolok-ukur komitmen pemda dalam berkontribusi dalam pembangunan perumahan rakyat.

"Meskipun di dalam UU PKP Pasal 105 disebutkan tanggung jawab ketersediaan lahan berada di pundak pemda, hal ini akhirnya hanya terkesan melempar tanggung jawab pengadaan tanah perumahan. Tidak bisa seperti itu," kata Anggota Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman (KKPP) Institut Teknologi Bandung Jehansyah Siregar, hari ini.

Menurut dia, urusan pengadaan tanah perumahan rakyat dipandang sulit dan mahal karena logika pemerintah sebatas menggunakan mekanisme bisnis properti. Logika tersebut akan selalu diliputi beragam kendala dan biaya tinggi dalam pembebasan tanah maupun perizinan lokasinya.

Namun, dia yakin semua kendala ini akan hilang, jika penyediaan lahan dikembangkan melalui mekanisme perumahan publik yang terencana. (zuf)

Daerah Perlu Contoh Penyediaan Tanah Perumahan

Ada kecenderungan beberapa pihak menempatkan pemerintah daerah paling bertanggung-jawab dalam pengadaan tanah untuk rumah murah. Bahkan dijadikan tolok-ukur komitmen Pemda dalam berkontribusi dalam pembangunan perumahan rakyat. Meskipun di dalam Undang-undang Perumahan dan Permukiman (UU PKP) pasal 105 disebutkan tanggung jawab ketersediaan lahan berada di pundak Pemda, hal ini akhirnya hanya terkesan melempar tanggung jawab pengadaan tanah perumahan. Mengapa demikian?
Sebenarnya urusan pengadaan tanah untuk perumahan rakyat dipandang sulit dan mahal karena masih sebatas menggunakan mekanisme bisnis properti dimana memang ada beragam kendala dan biaya tinggi dalam pembebasan tanah maupun perijinan lokasinya. Namun semua kendala ini akan hilang jika dikembangkan melalui mekanisme perumahan publik yang terencana. Pengembangan sistem penyediaan perumahan publik hendaknya menjadi perhatian, terutama dalam pengadaan tanah perumahan rakyat. Sedangkan peran pemerintah daerah utamanya adalah mengendalikan proses ini dengan mengacu pada rencana tata ruang dan menjamin pelaksanannya secara terarah.
Untuk itu, pemerintah perlu segera mengembangkan bank-bank tanah melalui mekanisme perumahan publik. Mekanisme housing delivery inilah yang sebenarnya harus dijamin  di dalam Undang-undang Perumahan dan Permukiman (UU PKP).  Bukannya pasal-pasal yang membebani daerah tanpa kejelasan bagaimana sistem pengadaannya. Jadi, meskipun di pasal 105 disebutkan tanggung jawab ketersediaan lahan berada di pundak Pemda, tanpa kejelasan mekanisme yang efektif maka tidak akan berjalan.
Jika dikaji ulang riwayat penyusunan UU-PKP ini setahun yang lalu sebenarnya tidak jelas juga, pemda mana yang berkomitmen menjalankan pasal ini. Apalagi daerah sebenarnya kebingungan dengan mekanisme seperti apa yang bisa dipakai. Apakah harus melakukan pembelian tanah melalui panitia 9 misalnya, yang prosesnya panjang sekali? Sedangkan kebutuhan tanah untuk kegiatan pemerintah daerah tentu tidaklah sebanyak kebutuhan tanah untuk perumahan rakyat. Lagipula tidak semua daerah memiliki kesamaan tekanan urbanisasi yang tinggi sehingga kebutuhan perumahannya juga akan berbeda-beda.
Di Jepang dan Korea pengadaan tanah perumahan dikembangkan oleh "Perumnas" di sana, yaitu URA dan KNHC, terutama di kota2 metropolitan. Umumnya pengadaan tanah skala besar oleh BUMN di negaranya tersebut dilakukan melalui prioritisasi alih hak pengelolaan tanah oleh BUMN-BUMN, dari tanah perkebunan atau pertanian menjadi tanah permukiman dan perkotaan. Di Jepang, setelah menerima hak pengelolaan tanah skala besar, URA bekerjasama dengan Japan Railway (BUMN Kereta Api) sebagai ujung tombak dalam mengembangkan kawasan-kawasan permukiman baru. Sedangkan untuk pengelolaan lahan skala sedang di perkotaan, URA di Singapura dan Jepang yang berperan mengendalikan pembangunannya melalui pendekatan redevelopment atau renaissance.
Adanya kepentingan publik dan misi menjalankan pola pertumbuhan kawasan yang berkualitas menyebabkan pengadaan lahan permukiman di tingkat hulu seperti itu tidak bisa diserahkan kepada pihak swasta. Sebenarnys Konstitusi UUD 1945 di pasal 33 sudah mengamanatkan bahwa bumi nusantara harus dikelola oleh negara. Kata kata "dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat" ini bermakna bahwa lahan mentah untuk permukiman di tingkat hulu harus dikelola oleh negara melalui berbagai mekanisme publik.
Jadi jika ada pandangan yang mengatakan bahwa pemerintah daerah adalah penguasa atas tanah-tanah yang banyak tersedia untuk tanah perumahan, hal ini tidak tepat. Semua tingkatan pemerintahan memiliki kapasitas dan kewenangan yang sama terhadap tanah.  Bahkan sebenarnya pemerintah pusat melalui BUMN-BUMN memiliki tanah yang lebih banyak. Apalagi jika memasukkan tanah-tanah BUMN perkebunan, kehutanan dan pertanian yang sudah masanya dialihkan fungsinya.
Karena itu, belajar dari tiga negara Asia yang telah maju tersebut, Pemerintah pusat perlu segera memiliki model bank tanah skala besar melalui BUMN (Perumnas reformasi maupun pendirian lebih dari satu BUMN) setidaknya di 6 Metropolitan tanah air, yaitu di Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Semarang, Palembang, Makassar dan Banjarmasin, yang dikembangkan melalui mekanisme pengembangan kawasan terpadu berskala besar. Sedangkan untuk bank tanah skala menengah dan kecil di kawasan pusat perkotaan pemerintah perlu segera membuat model pengelolaan redevelopment/renaissance seperti URA di Singapura dan URA di Jepang.

Salam,
Jehan

Pembentukan Land Bank Dapat Meredam Spekulan

Indonesia Finance Today, Property

Thursday, 17 03 2011, BY MUHAMMAD RINALDI

indonesiafinancetoday.com/read/4834/Pembentukan-Land-Bank-Dapat-Meredam-Spekulan

JAKARTA (IFT) - Pemerintah kota diminta turut memperkuat cadangan lahan (land bank) untuk pembangunan perumahan seiring makin mahalnya harga tanah di perkotaan termasuk akibat ulah spekulan tanah.

Di sejumlah negara, lembaga yang mengelola land bank berfungsi memantau secara sistematik dan ketat pergerakan harga tanah, terutama yang disebabkan oleh aksi para spekulan. Lembaga itu juga bertugas mengatur peruntukan lahan yang disesuaikan dengan rencana tata ruang wilayah setempat, juga sebagai mediator dalam proses pembebasan tanah masyarakat.

“Pengelolaan land bank ini harus melibatkan pemerintah termasuk pemerintah daerah, karena akan sulit menerapkan kebijakan penghimpun dan mengelola lahan tanpa wewenang dan anggaran dari pemerintah sendiri,” ujar Lukman Purnomosidi, mantan Ketua Umum DPP Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia, di Jakarta, Kamis.

Dia mencontohkan Singapura sebagai negara yang sudah melakukan pencadangan lahan untuk pembangunan perumahan bagi warganya sejak lama. Di negara tersebut cadangan lahan dikelola satu badan negara khusus yang menangani perumahan. Karena itu, pemerintah berhasil menjalankan kebijakan pembangunan perumahan terutama bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.

Selama ini, kata dia, pengadaan lahan untuk pembangunan perumahan dilakukan melalui mekanisme pasar. Kondisi itu membuat harga tanah di perkotaan bisa melonjak cukup tinggi, terutama jika diketahui akan dibangun proyek properti. Bagi perumahan kelas menengah atas seperti apartemen mungkin tidak menjadi persoalan, namun bagi rumah kelas menengah bawah akan menyulitkan. Wajar jika saat ini sebagian besar perumahan menengah bawah makin bergeser jauh ke pinggiran Jakarta.

“Persentase biaya untuk lahan mencapai 15%-20% dari total biaya produksi rumah. Karena itu, upaya menghimpun dan mengelola tanah untuk perumahan dalam skala besar sangat mendesak terutana supaya harga rumah lebih terjangkau,” paparnya.

Jehansyah Siregar, Pakar Permukiman dari Institut Teknologi Bandung berpendapat pemerintah perlu segera mengembangkan land bank melalui mekanisme perumahan publik. Mekanisme housing delivery inilah yang sebenarnya harus dijamin dan dijalankan pemerintah seperti diatur dalam Undang-undang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

“Meski di pasal 105 undang-undang itu disebutkan tanggung jawab ketersediaan bank tanah berada di pundak pemerintah daerah, namun mekanismenya harus diperjelas dulu,” katanya, Kamis.

Di Jepang dan Korea misalnya, pengadaan tanah perumahan dikembangkan oleh perusahaan publik seperti Perumnas di Indonesia yakni URA dan KNHC. Biasanya pengadaan tanah skala besar dilakukan melalui alih hak pengelolaan tanah milik negara. Di Jepang, setelah menerima hak pengelolaan tanah skala besar, URA kemudian menjalin kerja sama dengan Japan Railway (BUMN Kereta Api) untuk membuka akses rel ke lokasi lahan yang akan dijadikan kawasan permukiman.

“Karena kepentingan publik dan misi mengembangkan kawasan permukiman yang berkulaitas tidak bisa diserahkan kepada pihak swasta, maka ini menjadi tugas negara,” tegas Jehansyah.

Belajar dari negara-negara yang sukses membangun bank tanah, pemerintah pusat perlu memiliki model land bank skala besar yang dikelola satu perusahaan publik milik negara, setidaknya di beberapa kota metropolitan utama seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Semarang, Palembang, Makassar dan Banjarmasin.

Himawan Arief Sugoto, Direktur Utama Perum Perumnas menyatakan pihaknya siap jika diserahi wewenang mengelola bank tanah untuk pembangunan perumahan terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Saat ini developer itu sedang memprioritaskan perluasan dan penguatan struktur perusahaan. Usulan perubahan kelembagaan Perumnas sudah dilakukan, tinggal menunggu persetujuan dari pemerintah.

Selain lembaga yang mengelola cadangan lahan, kata dia, perlu juga adanya lembaga keuangan yang mendanai pencadangan tanah dengan dana pinjaman jangka panjang, dan bunga lunak. (*)

Muhammad Rinaldi

Realisasi Rusunawa di Malang Terhambat Harga Tanah

Rusunawa
Realisasi Rusunawa di Malang Terhambat Harga Tanah
Editor: Robert Adhi Kusumaputra
Sabtu, 19 Maret 2011 | 23:04 WIB
MALANG, KOMPAS.com — Realisasi pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) di Desa Pagentan, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, masih terhambat harga lahan yang dinilai terlalu tinggi.
Kepala Kantor Perumahan Kabuapten Malang Wahyu Hidayat, Sabtu (19/3/2011), mengakui, harga lahan yang harus dibebaskan cukup mahal, mencapai Rp 2,5 juta per meter persegi. "Sebelumnya kami tawarkan harga Rp 400.000 per meter persegi, namun warga menolak mentah-mentah. Akhirnya harus kami putuskan, sebab untuk mencari lahan alternatif sudah terlambat karena Kementerian Perumahan Rakyat (Kempera) memberi waktu batas akhir penyelesaian pembebasan lahan akhir Juli 2011," katanya.
Lahan yang dibutuhkan untuk akses jalan menuju rusunawa itu seluas 1.360 meter persegi. Jika memaksakan rusunawa dibangun di Desa Pagentan, anggaran yang harus dikeluarkan Pemkab Malang untuk pembebasan lahan cukup besar, yakni mencapai Rp 3,4 miliar. Sementara lahan untuk pembangunan rusunawa yang mencapai 128 unit itu seluas 1,9 hektar dan lahan tersebut merupakan aset pemkab setempat. Dipilihnya Desa Pagentan itu karena Pemkab Malang sudah memilih lahan di kawasan tersebut.
Wahyu mengatakan, jika pembebasan lahan milik warga tersebut tidak tuntas pada akhir Juli mendatang, maka anggaran bantuan dari pemerintah pusat sebesar Rp 12 miliar akan dialihkan ke kota atau kabupaten lain. Ia mengakui, pembangunan rusunawa yang diputuskan tetap di Pagentan itu, selain karena faktor deadline dari Kempera pada akhir Juli 2011, lokasi tersebut juga dinilai paling strategis, apalagi tim survei dari Kempera juga sudah datang ke lokasi dan menyetujui.
Selain membangun rusunawa, Pemkab Malang juga akan membangun rumah sederhana tapak (RST) lebih dari 5.000 unit yang dikerjakan oleh 10 pengembang. Untuk pembangunan RST tersebut, pengembang mendapatkan subsidi dana untuk sarana dan prasarana dari pemerintah pusat senilai Rp 12,2 miliar. "Kami upayakan pembangunan tempat tinggal bagi warga baik rusunawa maupun rumah sederhana tapak segera terealisasi. Sebab, kebutuhan ketersediaan tempat tinggal bagi masyarakat masih cukup tinggi, yakni sekitar 41.000 unit atau kepala keluarga (KK)," ujarnya.
Jehan:
Pengadaan Rusunawa jangan mencampur aduk APBN dan APBD. Karena, pertama, membuat kekacauan fiskal pusat dan daerah. Kedua, pengelolaan selanjutnya jadi tidak jelas, mengelola aset pusat atau daerah? Padahal tahap pengelolaan adalah tahap penting rusunawa. Ketiga, membebani APBD melalui anggaran pembebasan tanah yang sulit. Sedangkan APBN untuk bangunan tak ada masalah, tinggal dikucurkan dengan enak. Solusi: Jangan APBN dan APBD campuran. Di berbagai negara maju, pengadaan public rental housing dilakukan dengan kerjasama BUMN dan BUMD secara utuh dan sinergis tanpa mencampur-campur aset pusat dan daerah.
properti.kompas.com/read/2011/03/19/23044019/Realisasi.Rusunawa.di.Malang.Terhambat.Harga.Tanah

Senin, 21 Maret 2011

Pemerintah Pusat Jangan Melulu Bebani Pemda


http://properti.kompas.com/read/2011/03/22/14015295/Pemerintah.Pusat.Jangan.Melulu.Bebani.Pemda




----------------ooo()ooo----------------

Pemerintah Lempar Tanggung Jawab

08-03-2011
(Bisnis Indonesia, Selasa-8 Maret 2011)

JAKARTA: Sejumlah kalangan menilai pemerintah pusat seakan-akan melempar tanggung jawab kepada daerah soal penyediaan tanah bagi perumahan rakyat dengan berlindung di balik UU No. 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP).

Dengan adanya UU tersebut, beberapa pihak seperti Kementerian Perumahan Rakyat menempatkan pemerintah daerah paling bertanggung jawab dalam pengadaan tanah untuk rumah murah. Ukuran ini bahkan dijadikan tolok ukur komitmen pemda dalam berkontribusi dalam pembangunan perumahan rakyat. Meskipun di dalam UU PKP Pasal 105 disebutkan tanggung jawab ketersediaan lahan berada di pundak pemda, hal ini akhirnya hanya terkesan melempar tanggung jawab pengadaan tanah perumahan.

Tidak bisa seperti itu, kata Anggota Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman (KKPP) Institut Teknologi Bandung Jehansyah Siregar. Menurut dia, urusan pengadaan tanah perumahan rakyat dipandang sulit dan mahal karena logika pemerintah sebatas menggunakan mekanisme bisnis properti.

Logika tersebut akan selalu diliputi beragam kendala dan biaya tinggi dalam pembebasan tanah maupun perizinan lokasinya. Namun, dia yakin semua kendala ini akan hilang, jika penyediaan lahan dikembangkan melalui mekanisme perumahan publik yang terencana. Dia mendesak pengembangan sistem penyediaan perumahan publik menjadi fokus perhatian, terutama dalam pengadaan tanah perumahan rakyat. Jika sistem ini berjalan, tugas utama pemda adalah mengendalikan proses penyediaan perumahan publik dengan mengacu pada rencana tata ruang dan menjamin pelaksanaannya secara terarah. Di dalam penyediaan perumahan publik, bank-bank tanah bisa dibentuk daerah lewat mekanisme housing delivery system. Mekanisme inilah yang sebenarnya harus dijamin di dalam UU PKP. Bukannya pasal-pasal yang membebani daerah tanpa kejelasan bagaimana sistem pengadaannya.

Menteri Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa mengatakan permasalahan produksi perumahan selama ini terkendala oleh minimnya jumlah bank tanah yang tersedia di setiap daerah. Minimnya alokasi itu dianggap sebagai faktor serius dalam mendorong lonjakan akumulasi defisit perumahan. Karena itu, pemda bisa dipaksa menyediakan bank tanah sebagai bahan baku vital pembangunan rumah setelah terbitnya UU PKP.


Tidak jelas

Jehan mengatakan mekanisme penyediaan lahan oleh pemda menurut UU PKP dinilainya tidak jelas, sehingga akan menimbulkan kebingungan di setiap daerah. Apakah pemda harus melakukan pembelian tanah melalui panitia sembilan yang prosesnya sangat panjang? Lagipula tidak semua daerah memiliki kesamaan tekanan urbanisasi yang tinggi, sehingga kebutuhan perumahannya juga akan berbeda-beda.

Di negara-negara maju seperti Jepang dan Korea Selatan, pengadaan tanah perumahan dikembangkan oleh BUMN yaitu Urban Redevelopment Authority (URA) dan Korean National Housing Corporation (KNHC), terutama di kota-kota metropolitan. Pada umumnya, pengadaan tanah skala besar oleh BUMN di negara-negara tersebut dilakukan melalui prioritas alih hak pengelolaan tanah oleh BUMN. Untuk pengelolaan lahan skala sedang di perkotaan, URA di Singapura dan Jepang berperan aktif mengendalikan pembangunannya melalui pendekatan redevelopment atau renaissance.

Karena itu, adanya penekanan kepentingan publik dan misi menjalankan pola pertumbuhan kawasan yang berkualitas menyebabkan pengadaan lahan permukiman di tingkat hulu seperti itu tidak bisa diserahkan kepada pihak swasta. Jadi, jika ada pandangan yang mengatakan bahwa pemda adalah penguasa atas tanah-tanah yang banyak tersedia untuk tanah perumahan, hal ini tidak tepat. Semua tingkat pemerintahan memiliki kapasitas dan kewenangan yang sama terhadap tanah. Terlebih, pemerintah pusat melalui kalangan BUMN memiliki cadangan tanah yang lebih banyak. Apalagi, jika memasukkan tanah-tanah BUMN perkebunan, kehutanan dan pertanian yang sudah masanya dialihfungsikan. (Yusuf Waluyo Jati)





Minggu, 20 Maret 2011

Bukan Harga Tanah, Skema dari Kemenperalah yang Menghambat

Di dalam sebuah pemberitaan, disebutkan bahwa realisasi Rusunawa di Malang terhambat harga tanah (KOMPAS.com, Sabtu, 19 Maret 2011 | 23:04 WIB). Realisasi pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) di Desa Pagentan, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, masih terhambat harga lahan yang dinilai terlalu tinggi, yang mencapai Rp 2,5 juta per meter persegi. Keadaan ini menjadi dilema di Malang, karena Kementerian Perumahan Rakyat (Kempera) memberi waktu batas akhir penyelesaian pembebasan lahan akhir Juli 2011.
 
Sekali lagi, Kemenpera tetap memaksakan skema proyek dan mekanisme pasar untuk membangun menara-menara Rusunawa. Sebagaimana pemberitaan di atas, akibatnya banyak masalah dijumpai dalam penerapannya di daerah-daerah. Jadi yang menghambat ini sebenarnya skema dari Kemenpera, bukan soal harga tanah. Mengapa demikian? Karena pengadaan rusunawa tetap dengan menggunakan skema pencampuran APBN dan APBD.
 
Pengadaan Rusunawa jangan sampai mencampur aduk antara APBN dan APBD. Karena akibatnya, pertama, akan membuat kekacauan fiskal antara pusat dan daerah, yang sudah memiliki aturan-aturannya. Kedua, pengelolaan dan penganggaran pengelolaan untuk tahap selanjutnya menjadi tidak jelas, apakah ditujukan untuk mengelola aset pusat atau daerah? Padahal tahap pengelolaan adalah tahap penting dalam pengadaan Rusunawa sebagai public housing. Ketiga, skema ini membebani APBD melalui anggaran pembebasan tanah yang sulit. Pengadaan tanah untuk perumahan rakyat membutuhkan proses yang cepat an massal mengingat jumlahnya yang besar. Sedangkan pembebasan tanah melalui panitia tanah di daerah akan sangat terbatas kapasitasnya mengingat prosesnya yang panjang. Di sisi lain, APBN dari Kempera untuk proyek konstruksi bangunan tak ada masalah, tinggal dikucurkan dengan enak.
 
 
Solusi
 
Pemerintah melalui Kempera janganlah memaksa untuk tetap memakai APBN dan APBD campuran dalam pengadaan rusunawa. Skema seperti ini akan terus berpotensi menghasilkan rumah susun terlantar, mistarget kelompok sasaran, dan mendepresiasi aset nasional dan daerah.  Lebih jauh, akan mengacaukan pemanfaatan ruang di daerah karena pendekatan proyek-proyek ini tidak memiliki kapasitas dalam persiapan, perencanaan dan pengembangan kawasan.
 
Di berbagai negara yang maju urusan perumahannya, pengadaan public rental housing ini dilakukan melalui kerjasama BUMN dan BUMD secara utuh dan sinergis. Tidak ada skema mencampur-campur aset pusat dan aset daerah. Peran BUMN juga lebih dominan mengambil segmen kelas menengah dan bawah, sedangkan BUMD fokus di segmen miskin (social housing). Selain menghasilkan kejelasan anggaran, kerjasama BUMN dan BUMD juga lebih berpotensi melakukan tenant management dan asset management yang managable. Sehingga pendekatan korporasi benar-benar bisa lebih menjamin ketepatan sasaran dan menghasilkan pengelolaan aset dan kawasan yang terus mengalami apresiasi.
 
Yang mengherankan saya, meskipun sudah banyak pemberitaan mengungkapkan kegagalan program rusunawa yang banyak terlantar dan tidak mengenai sasaran, mengapa Kemenpera tetap memaksakan menggunakan skema yang sama?

Pemerintah Diminta Kembangkan Model Bank Tanah


JAKARTA - Pemerintah perlu mengembangkan model bank tanah untuk menjamin ketersediaan lahan pembangunan perumahan rakyat. Model ini bertujuan untuk membantu pemerintah daerah (pemda) dalam menyelesaikan kekurang (backlog) perumahan rakyat.

Menurut Peneliti dari Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman (KKPP) ITB Jehansyah Siregar, penyediaan bank tanah bisa dilakukan lewat dua metode, yaitu skala besar untuk pengembangan kawasan terpadu serta skala menengah dan kecil guna menciptakan kawasan-kawasan permukiman baru.
"Pemerintah pusat perlu segera memiliki model bank tanah skala besar melalui badan usaha milik negara (BUMN), tugas ini bisa dilaksanakan Perumnas maupun melalui pendirian BUMN, di kota-kota metropolitan Tanah Air," ujar dia kepada Investor Daily, belum lama ini.

Kota metropolitan yang dimaksud seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Semarang, Palembang,
Makassar dan Banjarmasin yang dikembangkan melalui mekanisme pengembangan kawasan terpadu berskala besar. Sedangkan bank tanah skala menengah dan kecil di kawasan pusat perkotaan pemerintah perlu segera membuat model pengelolaan redevelopment seperti Urban Rede-velopment Authority (URA) di Singapura dan di Jepang.

"Umumnya pengadaan tanah skala besar oleh BUMN di negara-negara tersebut lewat mekanisme prioritisasi alih hak pengelolaan tanah oleh BUMN-BUMN, dari tanah perkebunan atau pertanian menjadi tanah permukiman dan perkotaan," ujarnya.

Saat ini, tambah dia, penyediaan lahan pengembangan perumahan belum diterapkan di Indonesia. Malah ada kecenderungan beberapa pihak yang menempatkan pemda sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam pengadaan tanah untuk penyediaan rumah. Bahkan, hal ini dijadikan sebagai tolok ukur komitmen pemda untuk berkontri-busi dalam pembangunan perumahan rakyat.

"Jika ada pandangan seperti itu, tidak tepat Semua tingkatan pemerintahan memiliki kapasitas dan kewenangan yang sama terhadap tanah perumahan rakyat. Bahkan, sebenarnya pemerintah pusat melalui BUMN-BUMN memiliki tanah yang lebih banyak. Apalagi jika memasukkan tanah-tanah BUMN perkebunan, kehutanan dan pertanian yang sudah masanya dialihkan fungsinya," papar dia.

Jehansyah mengakui urusan pengadaan tanah untuk perumahan rakyat dipandang sulit dan mahal, karena terhambat beragam kendala dan biaya tinggi untuk pembebasan tanah maupun perizinan. Namun, semua kendala ini akan hilang jika dikembangkan melalui mekanisme perumahan publik yang terencana.
"Untuk itu. pemerintah perlu segera mengembangkan bank-bank tanah melalui mekanisme perumahan publik. Mekanisme housingdelivery inilah yang sebenarnya harus dijamin dalam Undang-Undang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP)," katanya.

Kalangan pengembang sebelumnya menyebutkan pembangunan perumahan rakyat terkendala oleh minimnya ketidaktersediaan lahan. Pengembang khawatir program rumah murah sulit berjalan akibat minimnya pasokan lahan. Untuk itu, pengembang meminta ada intervensi pemerintah dalam program pembangunan rumah untuk rakyat berupa penjaminan ketersediaan lahan dan infrastruktur.

Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Eddy Ganefo mengungkapkan, program rumah murah tidak akan berjalan, apabila pemerintah dan pengembang tidak bekerja sama menyediakan hunian bagi masyarakat "Pengembang dan pemerintah punya kemampuan terbatas. Kalau sendiri-sendiri tentu tidak akan bisa," katanya, (ean)


http://bataviase.co.id/node/593293



----------------ooo()ooo-----------------



Govt Asked to Form Land Bank Institution to Evade Speculator Actions


JAKARTA (IFT) - The government is asked to strengthen their land banking to develop housing in line with the increasingly expensive land price in urban areas due to land speculators.

In several countries, agencies that manage land banks are tasked with observing land price movement strictly and systematically, mainly those due to actions of the speculators. The agencies are also tasked with organizing land usage to conform with the local layout plan, and also serves as mediator in acquiring public land.

“Management of land banks have to involve the government, including the regional government, because it will be hard to implement gathering and managing land policy without authorization and budget from the government,” said Lukman Purnomosidi, ex-Chair of Central Executive Council of the Indonesian Real Estate Association, in Jakarta, Thursday.

For instance, Singapore has long conducted land reservations efforts for housing their population. Land banking in Singapore is organized by an agency that specifically manages housing and is successful in implementing the housing construction policy, mainly to the middle to low income population.

He said that so far, land acquisition for housing development is conducted through market mechanism. The condition made land price in urban areas skyrocket, especially if it is known that the area will be developed as a property project. For middle class housing, such as apartments, it might not be much of a problem, but for middle-low class housing, it can be a hassle. Currently the majority of large middle-low class housing projects are progressing further away to the outskirts of Jakarta.

“Cost percentage for land reached 15-20 percent of the total housing production cost. Therefore, efforts to gather and manage land for housing in large scale, are very pressing to make the house price more affordable,” he said.

Jehansyah Siregar, Residential Expert of the Bandung Institute of Technology, said that the government must quickly develop  land banks through the public housing mechanism. The housing delivery mechanism is supposedly guaranteed and conducted by the government as regulated in the Law of Housing and Residential Area.

“Though in article 105 of the Law, it is said that the responsibility of land bank availability is at the hands of the regional government, the mechanism should be clarified,” he said, Thursday.
In Japan and Korea, land acquisition is developed by public companies, respectively by URA and KNHC, which are similar to Perumnas in Indonesia. Large scale land acquisitions are usually conducted through the government’s land management rights transfer. In Japan, after receiving the large scale land management right, the URA then collaborates with Japan Railway (Railway SOE) to open rail access to the land location that is going to be converted into a residential area. “The public interest and the mission of developing quality residential area cannot be handed over to the private sector, because it is the state’s job,” said Jehansyah.

From observing countries that are successful in developing land banks, the central government must possess a large scale model of a land bank that is managed by a State Owned Enterprises (SOE), at least in several main metropolitan cities such as Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Semarang, Palembang, Makassar and Banjarmasin.

Himawan Arief Sugoto, President Director of the Perumnas Public Company, said that they are ready should they be given the authority to manage land banks for housing development specifically for the low-income population. Currently, the developer is prioritizing expansion and strengthening the organizational structure. Suggestions on changing the institutional role of Perumnas has been done, but is waiting for the government’s approval. Other than the land bank institution, he said, there is also a need to assign a  financial institution that will fund the land acquisition with long-term loans with a soft interest rate.


http://en.indonesiafinancetoday.com/read/3350/contact

Mendorong Prinsip Keamanan Bermukim (Security of Tenure)


Ketika istilah keamanan bermukim diangkat pada sebuah diskusi terarah di Cikampek, timbul pemahaman yang beragam dari beberapa pihak. Diskusi terbatas mengenai penanganan permukiman kumuh tersebut diadakan oleh Bappenas pada akhir tahun 2006 dan pertengahan 2007 serta dihadiri oleh para pihak terkait perumahan dan permukiman seperti Kemenpera, PU Cipta Karya, BPS, BPN, Depdagri, dll. Secara sederhana, istilah keamanan bermukim (secure tenure) dimaknai sebagai mengijinkan penghuni permukiman kumuh dan informal (liar) seperti di bantaran sungai, bantaran rel kereta api, dsb untuk tetap tinggal di kawasan terlarang tersebut. Ada pula yang mengartikannya memberikan hak milik rumah dan tanah bagi para penghuni permukiman informal (liar).
Jika dihadapkan dengan penggusuran (yang diklaim pemerintah sebagai penertiban), maka istilah keamanan bermukim diartikan menolak penertiban atau membiarkan kondisi permukiman informal tidak tertib. Pemaknaan sederhana yang kurang tepat seperti ini menimbulkan resistensi untuk menerima prinsip keamanan bermukim secara luas, terutama di kalangan pemerintah. Makna menurut penulis sendiri dan sedikit peserta lain bukanlah seperti itu. Keamanan bermukim memiliki makna yang luas, yang pada intinya memberikan iklim yang memudahkan bagi semua warga untuk memperoleh rumah yang layak dan terjangkau, dan yang terutama, iklim yang melindungi dan memberdayakan bagi proses perumahan yang belum memenuhi kelayakan, yang masih merupakan proses perumahan yang cukup dominan terutama di kota-kota besar di tanah air.
Yang jelas, keragaman persepsi ini hendaknya perlu disamakan sebelum berkembang menjadi jargon dan slogan kosong (buzzword) dan salah kaprah (misleading) seperti biasanya terjadi di tanah air dan seringkali justru mematikan pemaknaan sebenarnya. Untuk itu, melalui kesempatan pemaparan dalam diskusi penanganan permukiman squatter/ informal (liar) yang diadakan di Kemenpera pada akhir April 2009, kiranya penulis merasa perlu sedikit urun pendapat melalui tulisan singkat ini. Meski tentu masih belum memadai untuk suatu eksplorasi konseptual yang mendalam yang diiringi pula pemahaman kondisi permukiman dan konteks lokal di tanah air.
1.   Pengertian
Merujuk kamus bahasa Inggris, istilah tenure atau tenureship memiliki arti yang sama dengan occupancy, habitation dan use. Dengan demikian istilah tenure dapat diartikan sebagai, penghunian, pemukiman (bermukim) dan penggunaan. Dalam konteks tempat tinggal dan lingkungannya, maka penulis lebih memilih makna tenure sebagai bermukim atau habitasi. Di dalam praktek permukiman di tanah air, bermukim tidak berarti tunggal sebagai memiliki (dibuktikan surat hak), namun kita mengenal beragam bentuk bermukim seperti milik, kontrak, sewa, pinjam, maupun menumpang, dsb.
Sedangkan istilah security berarti keamanan, namun tidak persis sama dengan defense yang berarti keamanan dari serangan musuh atau dari kejahatan kriminal. Security bermakna sama pula dengan protection yang berarti perlindungan atau jaminan. Dengan demikian istilah secure tenure dapat kita artikan sebagai keamanan (jaminan, kepastian) bermukim. Penuilis lebih memilih makna keamanan karena mengandung pengertian perlindungan (terhadap proses perumahan informal dari pemalakan, intimidasi dan penggusuran).
Dalam kaitan dengan perumahan dan permukiman, maka istilah keamanan bermukim dapat diartikan sebagai:       
1)      Adanya jaminan akan akses yang luas bagi setiap keluarga untuk bisa memperoleh tempat tinggal yang layak secara terjangkau melalui sistem penyediaan tempat tinggal (perumahan dan permukiman) yang berkeadilan,
2)      Adanya jaminan bagi setiap keluarga atau perorangan untuk mendapatkan proses pemberdayaan dan akses ke sumber-sumber daya kunci perumahan dan permukiman dalam upaya memperoleh tempat tinggal yang layak dan terjangkau, dan
3)      Adanya keamanan (perlindungan) bagi setiap keluarga atau perorangan untuk secara sementara mempertahankan tempat tinggal yang dimilikinya meskipun belum memenuhi standar layak, sementara proses penyediaan di poin pertama dan kedua berlangsung.

2.   Latar Belakang
Mengapa prinsip keamanan bermukim dirasakan penting untuk dimajukan? Jawaban singkatnya adalah karena masih belum meluasnya rasa kepastian bagi semua warga negara untuk bermukim secara layak dan aman. Dalam istilah kebijakan pembangunan, belum ada akses yang memadai bagi seluruh warga masyarakat untuk bertempat tinggal dan melangsungkan kehidupan yang bermartabat. Masih ada kesenjangan yang jauh antara kebijakan dan peraturan di bidang perumahan dan permukiman, termasuk pertanahan (menjamin terpenuhinya kebutuhan tanah untuk bermukim), dengan implementasinya.
Kalangan masyarakat berpendapatan rendah (MBR) dan kaum miskin kota yang tidak mampu memperoleh permukiman yang layak, dengan mudah terperosok ke lingkungan permukiman informal (liar) yang tidak aman dari penggusuran dan rentan pula dari bahaya bencana. Permukiman ini disebut sebagai permukiman informal yang tidak aman sekaligus merupakan cerminan kemiskinan kota. Sejalan dengan itu permukiman kumuh dan informal (liar) terus bertambah, seiring pula dengan penggusuran permukiman yang berkelanjutan. Dari sebuah data lembaga PBB, sekitar 873 juta jiwa penduduk dunia tinggal di lingkungan permukiman kumuh pada tahun 2000 dan akan bertambah sebanyak dua kali lipatnya diperkirakan sekitar 1,5 milyar pada tahun 2020. Berapa target yang realistis untuk dapat mengerem laju pertambahan penduduk permukiman kumuh tersebut? Sementara itu, Indonesia sendiri masih berkutat dengan pendataan permukiman kumuh yang ada dan bagaimana laju pertumbuhannya. Data sensus tahun 2000 sementara menyebutkan ada 47 ribu hektar permukiman kumuh yang tersebar di 10 ribu lokasi. Pertanyaannya, apa upaya yang harus dilakukan untuk merealisasikan target pengurangan permukiman kumuh/liar dan untuk mengurangi laju pertumbuhannya?
Permukiman kumuh dan informal (liar) yang terus bertambah inilah yang ditengarai sebagai cermin masih rendahnya dan belum ditegakkannya prinsip keamanan bermukim di tanah air. Permukiman kumuh dan liar adalah gambaran pola pembangunan yang masih abai terhadap pemenuhan kebutuhan kaum miskin yang menempati proporsi cukup besar. Pada awalnya, prinsip keamanan bermukim merupakan suatu ancangan internasional yang ditawarkan dalam merespon laju pertumbuhan permukiman kumuh dan informal di berbagai kota besar di negara-negara berkembang. Namun, meskipun telah secara luas dikaji di tingkat global (UN agencies) hingga disimpulkan merupakan isu strategis melalui mana banyak permasalahan dapat diselesaikan, konsep keamanan bermukim masih relatif baru di Indonesia. Meskipun demikian, dalam berbagai dokumen seperti agenda dan kerangka aksi global (agenda habitat, tujuan pembangunan millennium, dll) Indonesia telah turut meratifikasi prinsip keamanan bermukim ini. Masalahnya tinggal dalam sosialisasi dan upaya realisasinya yang belum kunjung tampak.
Dalam beberapa praktek penanganan permukiman di tanah air sebenarnya sudah ada contoh-contoh penerapan keamanan bermukim. Contohnya adalah ketika pada tahun 2004 dikeluarkan SK Menteri PU yang memberi ijin tinggal sementara selama 2 tahun kepada warga pemukim kolong tol di Jakarta Utara. Namun sayangnya ijin tinggal sementara itu tidak diikuti dengan upaya penanganan yang memadai dari Kementerian Perumahan Rakyat dan PU Cipta Karya. Justru atas permintaan Gubernur DKI Jakarta tahun 2007, Menteri PU yang menjabat pada periode berikutnya mencabut SK ijin tinggal sementara itu, meskipun masalah permukiman informal (liar) yang melatarbelakangi terbitnya SK tersebut belum ditangani.
Pada kasus-kasus lain, kebijakan atau penerbitan SK beberapa Walikota (Solo, Pekalongan, Blitar, dll) yang memberi ijin tinggal sementara juga telah memberi rasa aman bermukim, meskipun sementara. Tindakan beberapa pemimpin yang memiliki hati nurani tersebut telah berupaya mengerahkan kewenangan yang dimilikinya untuk memberi keamanan bermukim. Namun semuanya masih belum bisa meningkatkan keamanan bermukim warga secara terencana dengan baik, karena belum didukung kebijakan yang jelas dan terbangun dalam suatu kerangka peraturan, kelembagaan dan mekanisme-mekanisme penanganan yang efektif.

3.   Pernyataan Posisi (Position Statement)
Secara hukum positif, pada dasarnya upaya meningkatkan keamanan bermukim adalah strategi nyata dalam merealisasikan Hak Asasi Manusia (HAM), sebagai pemenuhan hak-hak dasar warga negara atas rumah yang layak di lingkungan permukiman yang sehat, yang telah ditetapkan Konstitusi NKRI dan beberapa pasal Undang-undang. Undang-undang Dasar 1945 pasal 28-H mengamanatkan bahwa setiap orang berhak untuk bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sedangkan di dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 40 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bertempat tinggal dan berkehidupan yang layak. Undang-undang No. 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman pasal 5 menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan/atau menikmati dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur
Selain itu, upaya mewujudkan keamanan bermukim adalah strategi dalam upaya merealisasikan prinsip pro-poor dalam upaya menanggulangi kemiskinan khususnya di perkotaan. Secara teknis pengelolaan permukiman perkotaan, Keamanan Bermukim adalah strategi untuk menghambat laju pembentukan dan pengurangan permukiman kumuh dan informal (squatter) secara berarti, efektif dan manusiawi.
Prinsip keamanan bermukim pada dasarnya adalah realisasi dari pendekatan pemenuhan hak-hak dasar seperti diuraikan di atas. Dalam hal ini adalah hak penggunaan tanah dan hak perumahan, yaitu pengakuan adanya hak setiap keluarga atau perorangan untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak di lingkungan permukiman yang sehat. Secara umum, ada dua aspek penting dari keamanan bermukim, yaitu pertama, adanya keamanan pemanfaatan tanah (secure land tenure) untuk bertempat tinggal dan pengakuan adanya hak perumahan (housing right) yang layak bagi semua warga masyarakat (shelter for all).
Isu tanah untuk perumahan dan permukiman (bukan semata administrasi tanah) merupakan salah isu penting di dalam realisasi prinsip keamanan bermukim ini. Namun perlu dicermati bahwa isu tanah untuk perumahan (land for housing atau housing land) bukanlah isu yang ada di domain (administrasi) pertanahan, melainkan ada di bidang perumahan dan permukiman. Oleh karena itu, prinsip keamanan bermukim harus diusung oleh instansi, para pihak dan komunitas di bidang perumahan dan permukiman. Prinsip keamanan bermukim tidak tepat jika diserahkan kepada instansi atau pihak yang terkait dengan administrasi pertanahan sebagai leading actor, meskipun, sekali lagi meskipun, administrasi pertanahan merupakan salah satu aspek pentingnya. Mengapa? Karena tujuan penerapan keamanan bermukim bukan semata tertib administrasi tanah, yang umumnya diselesaikan dengan upaya sertifikasi dan ajudikasi tanah yang memerlukan biaya tinggi melalui berbagai program dan proyek administrasi tanah. Tujuan penerapan keamanan bermukim adalah terwujudnya keamanan/jaminan/kepastian untuk bermukim secara layak bagi setiap warga negara.
Berbagai proyek percontohan peremajaan dan penataan permukiman kota (urban renewal, urban redevelopment, urban regeneration, dsb) selalu terbentur pada masalah keragaman status bermukim (irregular land tenure). Karena akar permasalahannya belum ditangani dengan baik maka berbagai kasus peremajaan permukimn kota tersebut bersifat sepenggal (piecemeal) dalam mengatasi masalah ini. Faktor restu pimpinan daerah selalu menjadi faktor kunci dibelakang penanganan yang dipandang sukses. Tentunya faktor ini tidak melembaga untuk dilanjutkan pada masa yang akan datang. Pendekatan restu pimpinan tidak dapat direplikasi (unreplicable) dan tidak dapat ditingkatkan skalanya (unupscalable) di tempat lain.

4.   Tantangan adanya Kondisi Keragaman Status Bermukim
Apa tantangan pertama yang dihadapi dalam penerapan prinsip keamanan bermukim? Substansi kongres hasil diskusi pra-Kongres Perumahan 2009 mencantumkan prinsip ini, dengan istilah kepastian bermukim. Namun memang cukup aneh juga rumusan kebijakan dan rencana aksi sebagai implementasinya, yang mencantumkan hal-hal yang kurang berhubungan dengan permasalahan keamanan bermukim, seperti: penerapan RP4D (rencana perumahan di daerah), adanya lembaga perumahan dan alokasi anggaran APBD untuk perumahan.
Tantangan pertama yang ditemui di lapangan ialah adanya keragaman status bermukim yang tidak dapat diakomodasi semuanya oleh sistem kategori status (legal) tanah berdasarkan kebijakan dan peraturan yang ada. Keadaan seperti ini menyebabkan semua bentuk status bermukim selain sertifikat tanah dan ijin bangunan memiliki kerentanan atau ketidak-amanan. Sehingga kemudian menjadi pertanyaan, yang manakah yang seharusnya menjadi kendala, adanya fakta keragaman status bermukim tersebut atau sistem kebijakan dan peraturannya?
Upaya meningkatkan keamanan bermukim berhadapan dengan kondisi status bermukim warga masyarakat yang sangat beragam. Kerangka kategori yang ada masih sangat terbatas, yaitu legal, kurang legal dan ilegal, karena melihat status bermukim semata dari sudut legal (hukum) formalistis yang ditandai oleh selembar sertifikat atau surat tanah. Mengapa dikatakan legal formalistis? Karena pada prakteknya, disamping sulit dikembangkan secara masal dan terpadu dengan aspek penataan ruang, proses sertifikasi seringkali terlepas dari riwayat penggunaan tanah, sistem sosial dan perkembangan budaya bermukim warga masyarakat yang semestinya juga menjadi dasar menyusun status legal. Sebagai konsekwensinya, fakta yang ada di lapangan menunjukkan selain adanya kategori status legal, ada pula status ekstra-legal, status non-formal, dan sebagainya. Ada kategori (formal) dan ada pula sub-kategori (informal) yang tidak bisa diabaikan begitu saja oleh lembaga administrasi pertanahan.

Keragaman status bermukim eksisting yang luas    vs    Regulasi, kebijakan dan program eksisting
à Yang mana kendala dan yang mana tantangan regularisasi permukiman kumuh/squatter? Apakah keragaman status bermukim yang menjadi kendala, ataukah regulasi dan kebijakan yang belum responsif terhadap prinsip keamanan bermukimlah yang menjadi kendala?

Keragaman status bermukim warga adalah fakta di lapangan yang tidak dapat sepenuhnya diakomodasi oleh kategori status bermukim eksisting yang formalistik. Oleh sebab itu, perlindungan terhadap hak dasar perumahan dan permukiman harus memberi perlindungan terhadap keragaman status bermukim dengan mengenali keadaannya sebagai basis pengembangan upaya peningkatan status bermukim dan kesejahteraannya.
Selain itu, fakta di lapangan menunjukkan pula bahwa status legal formal tidak selalu menjadi prioritas dari kaum miskin kota. Prioritas utama adalah tempat yang aman untuk beperikehidupan. Artinya, kerangka status bermukim warga permukiman informal lebih mengacu pada sisi perikehidupan (livelihood, kondisi sosial ekonomi) ketimbang aspek legalnya. Untuk itu diperlukan susunan baru kategori status bermukim yang dilandasi oleh visi untuk meningkatkan dan meregularisasi keamanan bermukim bagi seluruh warga.

PARADIGMA LAMA à Kategori Status Bermukim  vs  Status Legal Bermukim
                                 à Melemahkan keamanan bermukim permukiman yang tidak memiliki status legal
PARADIGMA BARU à Kategori Status Bermukim  vs  Status Aman Bermukim dan Peningkatan Kesejahteraan
                                 à Meningkatkan keamanan bermukim 

Kategori status bermukim dalam pasar tanah dan properti yang liberal hanya menghasilkan ketidakamanan bermukim. Karena pasar tanah dan properti yang liberal hanya menguntungkan bagi sekelompok kecil kalangan yang mampu mengakses (status) tanah yang dipandang legal. Untuk itu, upaya meningkatkan keamanan bermukim berimplikasi pada diperlukannya pengembangan peran publik (peran negara dan pemerintah) dalam meregulasi pasar tanah dan properti.
Sebagai contoh, permukiman di bantaran rel kereta dan bantaran sungai tidak dapat diberi status permukiman liar atau ilegal, karena warga yang tinggal di situ memiliki hak untuk dilindungi dan diberi keamanan bermukim. Dalam kerangka kategori baru, sebagai contoh, bisa diberikan status tidak resmi (informal) dan kepadanya diberikan hak tinggal sementara. Contoh penerbitan SK tinggal sementara yang dikeluarkan kepala daerah atau otoritas pemilik sah tanah (lembaga negara, BUMN dan sebagainya) adalah contoh pemberian keamanan bermukim. Namun pemberian status hak tinggal sementara tidak berdiri sendiri, melainkan harus diiringi oleh pemenuhan hak pemberdayaan dan upaya perolehan tempat tinggal secara swadaya dan kerjasama dengan berbagai pihak. Program pemberdayaan dan penyediaan tempat tinggal ini merupakan tanggung jawab pemerintah c.q Menteri Perumahan Rakyat dan PU Cipta Karya atau Dinas Perumahan dan Dinas PU Cipta Karya di daerah. Pada saat yang sama, pemenuhan hak bermukim berupa pemberian akses sumberdaya perumahan (tanah siap bangun dan pembiayaan murah) dan akses memperoleh rumah layak dan terjangkau (prasarana dan rumah murah) tetap perlu dilakukan dengan giat.
Membangun Komitmen
Memperhatikan kondisi di lapangan yang demikian kompleks, pada dasarnya diperlukan komitmen yang kuat untuk menerapkan prinsip keamanan bermukim dalam rangka menangani permukiman informal yang seiring pula dengan penanggulangan kemiskinan. Untuk itu diperlukan kerja keras dan upaya yang efektif untuk mengurangi laju pembentukan permukiman kumuh.

5.   Strategi
Merealisasikan prinsip keamanan bermukim adalah strategi kunci dalam penyediaan perumahan dan permukiman yang layak untuk seluruh rakyat. Untuk merealisasikan prinsip keamanan bermukim, diperlukan langkah-langkah strategis seperti:
1.    Peningkatan kapasitas pemahaman dari berbagai kalangan terkait, untuk merespon adanya keragaman persepsi terhadap konsep keamanan bermukim dan terhadap tujuan penerapannya. Untuk itu diperlukan penyamaan persepsi mengenai pentingnya pengembangan Kebijakan untuk Peningkatan Akses Keamanan Bermukim melalui proses perumusan kebijakan, strategi, program dan rencana aksi yang semakin mantap secara partisipatif.



2.   Pemetaan kondisi dari status bermukim yang beragam sebagai basis data untuk perumusan kebijakan dalam upaya peningkatan keamanan bermukim. Sebagai contoh, perkiraan 90% tanah di provinsi Riau memiliki status bermukim yang beragam namun semuanya berada di atas status tanah adat/ulayat. Contoh lain, perkiraan sebagian besar tanah dan rumah permukiman kumuh dan informal di Jakarta Utara memiliki status tanah dan rumah yang sangat beragam, namun semuanya berada di atas status HPL satu atau lebih lembaga negara. Kedua kasus ini adalah contoh dari keragaman status bermukim yang kondisinya sangat berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya. Kondisi yang berbeda-beda ini perlu dikenali dengan baik sebagai landasan upaya meningkatkan keamanan bermukim. Caranya? Keragaman status bermukim harus dijadikan dasar penyusunan kerangka status bermukim yang baru (bukan hanya status legal tanah).



 

3.     Pemberdayaan permukiman informal (liar). Pembangunan perumahan secara informal lambat laun membentuk permukiman yang kumuh, tidak terencana dan dilengkapi prasarana dan sarana yang memadai. Permukiman kumuh dan informal bahkan bisa saja mendominasi proses perumahan kota. Untuk itu diperlukan upaya memahami permukiman informal ketimbang melakukan penggusuran yang tidak menyelesaikan masalah. Pertambahan kumuh dan informal tetap melaju, apalagi juga tidak menyelesaikan masalah warga yang digusur tersebut. Pemahaman terhadap permukiman informal memiliki potensi dalam penanggulangan kemiskinan kota karena sifatnya yang dikembangkan secara swadaya, partisipatif, dan sedikit investasi publik, memberi kontribusi persediaan rumah (housing stock) dan terjangkau oleh masyarakat miskin. Pemahaman dan pemberdayaan permukiman informal adalah langkah untuk meningkatkan akses keamanan bermukim. Sejalan dengan perlindungan hak perumahan warga, maka upaya pemberdayaan permukiman informal merupakan penanganan mendesak yang paling realistis dan rasional.
4.     Mengembangkan secara kreatif kategori-kategori dan ragam status bermukim yang lebih cenderung pada peningkatan keamanan bermukim. Ini adalah strategi penanganan yang bersifat kuratif dan dalam jangka menengah bersifat transisional dengan tujuan untuk mengisi kesenjangan antara kerangka legal dan praktek yang ada. Contoh-contohnya adalah menetapkan kategori semi formal dan sub-kategori (informal) seperti SK Walikota tentang Ijin Tinggal, Surat Edaran Mendagri tentang Tenggat Tinggal, Hak Guna Tanah, Hak sewa tanah temporer, Hak guna tanah berbasis kelompok, Hak guna tanah berbasis data miskin, dan sebagainya.
5.     Pengkajian kendala regulasi, kebijakan dan program dalam upaya formalisasi permukiman kumuh dan squatter sebagai strategi penanganan jangka panjang yang bersifat preventif dan bertujuan untuk melakukan reformasi terhadap kerangka regulasi yang ada, agar secara bertahap dapat berubah semakin baik dan lebih responsif terhadap keragaman status bermukim.

 
6.  Rencana Aksi
Sebagai langkah-langkah tindak lanjut, perlu disusun rancangan rencana aksi:
1.     Rangkaian kegiatan FGD dan kampanye publik untuk penyamaan pemahaman prinsip keamanan bermukim dan pembangunan kepedulian publik (public awareness building) yang luas, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah dan pelaku-pelaku lainnya.
2.     Studi dan pemetaan kondisi ragam status bermukim dengan keluaran basis data dan kerangka kategori status bermukim. Dalam rangka meningkatkan keamanan bermukim, maka kegiatan ini meliputi pula studi kondisi kehidupan kaum miskin kota dalam kaitan dengan status bermukim. Fokus studi diarahkan pada ragam pekerjaan, ragam pola penggunaan tanah dan bangunan, mobilitas bermukim dan status bermukim, persepsi keamanan bermukim dan prioritas pilihan status bermukim.
3.     Percontohan penanganan permukiman informal (liar) melalui berbagai bentuk program percontohan pemukiman kembali (resettlement). Proyek percontohan dapat dilakukan di berbagai lokasi permukiman liar seperti di bantaran sungai, bantaran rel kereta api, di tanah negara maupun di tanah lembaga tertentu. Berbagai pola dan skenario dapat saja digunakan seperti skenario tetap di tempat (in situ resettlements) maupun relokasi (ex situ resettlements) maupun kombinasinya. Sejalan pula, berbagai ragam bentuk status bermukim yang lebih mendukung keamanan bermukim (strategi nomor 4) dikembangkan secara kreatif di dalam skema percontohan ini.
4.     Peningkatan kapasitas dan pengembangan kelembagaan penanganan permukiman kumuh dan informal (liar) secara progresif terutama di tingkat kota (city-wide level) melalui unit-unit pemerintah daerah yang terkait. Pemberdayaan permukiman kumuh dan informal di tingkat kota perlu dilakukan secara terpadu dengan mengkaitkannya dengan peningkatan 3 kapasitas kunci:
1. Peremajaan kawasan (redevelopment) termasuk pengendalian squatter (squatter control),
2. Pemukiman kembali (resettlement) yang mirip dengan pola transmigrasi, dan
3. Pengembangan kawasan permukiman/kota baru (kasiba-lisiba) yang dilekatkan dengan pengembangan kawasan-kawasan pusat pertumbuhan baru.

Ketiga pola penanganan ini membentuk segitiga squatter control/urban renewalresettlement – new area development yang perlu dilakukan secara terpadu, sebagai alternatif yang harus dikembangkan menggantikan pola lama yang terfragmentasi (peacemeal, printilan) melalui proyek-proyek dan proyek-proyek dan proyek-proyek peremajaan kawasan kumuh yang sudah terbukti tidak mampu mengentaskan masalah kumuh dan permukiman squatter perkotaan. Lebih memprihatinkan lagi, semua program penanganan permukiman kumuh tersebut tidak mampu menunjukkan roadmap menuju kota-kota yang bebas kumuh sebagaimana diamanatkan RPJP 2025.




5.     Studi pengkajian regulasi, kebijakan dan program dalam upaya formalisasi permukiman kumuh dan squatter, termasuk pula studi banding regulasi status bermukim dalam rangka peningkatan keamanan bermukim dan penanganan permukiman kumuh dan permukiman informal.

Tabel Ringkasan Rumusan Isu, Kebijakan dan Rencana Aksi
Isu/Masalah
Kebijakan dan Strategi
Draft Rencana Aksi
1.   Isu Keamanan Bermukim (Secure Tenure)
·    Akar masalah MBR dan miskin kota yang tidak mampu mengakses permukiman yang layak
·    Akar masalah dari permukiman kumuh dan informal (liar) yang terus bertambah.
1. Peningkatan kapasitas ttg konsep keamanan bermukim dan penerapannya
2. Meningkatan keamanan bermukim
3. Pemetaan kondisi dari ragam status bermukim
4. Pemberdayaan permukiman informal (liar).
5. Mengembangkan kategori status bermukim
6. Evaluasi regulasi dan kebijakan dalam upaya regularisasi perm. kumuh dan informal (liar)
1. Rangkaian FGD untuk penyamaan pemahaman prinsip keamanan bermukim dan public awareness building yang luas,
2. Studi dan pemetaan kondisi ragam status bermukim dengan keluaran basis data dan kerangka kategori status bermukim,
3. Percontohan penanganan permukiman informal (liar) melalui berbagai bentuk program percontohan pemukiman kembali (resettlement)
4. Peningkatan kapasitas penanganan permukiman informal yang progresif dan terpadu terutama di tingkat kota
5. Studi pengkajian regulasi, kebijakan dan program dalam upaya formalisasi permukiman kumuh dan squatter, termasuk pula studi banding regulasi status bermukim


(Paper disampaikan pada FGD Penanganan Permukiman Squatter, Kementrian Perumahan Rakyat, 28-29 April 2009, ditulis kembali dan dilengkapi seperti versi ini. Penulis adalah Anggota Tim Pakar Panitia Kongres Perumahan 2009, Dosen dan Peneliti di KKPP SAPPK ITB, Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung)

***